[1] Magnet Berlawanan Arus

2.1K 185 21
                                    

Bentara sedang membicarakan proyek advokasi untuk masyarakat di Maros, Sulawesi Selatan bersama dengan dosennya dan satu orang lagi teman lelakinya, ketika mereka dikejutkan pintu yang dibuka dengan cukup kencang. Pintu yang sebelumnya memang ditutup karena di luar sedang hujan. Jadi untuk menangkal udara dingin yang mungkin masuk.

Seorang perempuan berambut sepundak, dikucir, dan klimis karena basah masuk sambil menenteng sepatunya. Tanpa berucap salam. Tanpa menoleh. Melirik saja tidak. Seolah-olah eksistensi tiga orang yang sedang ada di ruang tamu itu tidak nampak di indera pengelihatannya.

"Kok hujan-hujan, Dek? Nggak bawa payung?" tanya sang dosen. Yang Bentara pastikan si gadis adalah anaknya. Yang membuat Bentara kaget adalah si gadis tidak mengindahkan sapaan itu. Tidak coba menghentikan langkah dan berucap sepatah kata pun.

Dipandangnya sang dosen yang adalah profesor sekaligus guru besar di kampusnya itu dengan lirikan ekor mata. Mata sang dosen masih memindai gerak langkah puterinya yang semakin menjauh. Disapunya dengan pandangan jejak-jejak air yang menetes dari ujung roknya membasahi lantai.

Ada pancaran yang tidak biasa dari mata sang dosen untuk puterinya. Pancaran mata kerinduan, mungkin? Tidak sesederhana pancaran kemarahan karena anaknya berlaku tidak sopan. Tidak sama sekali. Dan Bentara hanya berakhir saling melirik dengan teman di sampingnya. Pura-pura kembali menekuri kuesioner yang tadinya sedang mereka bicarakan. Mencoba tidak mengindahkan pandangan mata sang dosen pada titik kosong tempat terakhir sang gadis terlihat sebelum berbelok ke ruangan lain.

***

Karena hujan masih turun dan kebetulan pembahasan kuesioner jauh dari kata selesai maka sang dosen berinisiatif untuk melanjutkan pembahasan setelah makan. Kini mereka ada di meja makan, membicarakan hal santai di luar materi penelitian yang membuat mereka pusing.

Proyek dari NGO Internasional dan Kementerian Pertanian ini akan segera dijalankan kurang dari satu bulan lagi, sehingga mereka harus bekerja lumayan ekstra untuk menyelesaikan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Meja makan berisi dua anak muda dan satu orang profesor itu lumayan hidup karena tidak ada jarak yang tercipta. Dua anak muda pilihan dengan selera humor yang lumayan, dan sang profesor yang tidak sedang jaga wibawa. Di rumah hanya dengan sarung dan kaos oblong.

"Kamu ya, Sontoloyo! Kalau di jam kuliah saya berani tidur, saya suruh hapalin seratus family serangga, mau kamu?!" Bentara sedang menirukan gaya dosen proteksi tanaman yang sedang marah-marah karena mendapati mahasiswa tertidur di kelasnya.

"HAHAHAHA buset! Iya inget banget tuh di kelas gue juga pernah ada yang ketahuan mainan hape trus disuruh nyebutin 20 penyakit tanaman atau nilai UAS-nya C. Sadis emang. Makanya setiap kelas beliau selalu hening kayak ruangan komisi disiplin." Teman Bentara juga ikut bersuara yang ditanggapi ketiganya dengan tertawa.

"Apa kata andalannya?" tanya Bentara .

"SON... SON....?" Bentara masih memancing.

"SONTOLOYO!" jawab Bentara dan temannya serentak. Lalu, mereka bertiga tertawa lagi. Pembicaraan yang tak begitu lazim karena yang dibicarakan adalah dosen mereka sendiri, teman sang profesor, tapi memang karena ajaibnya tingkah dosen proteksi tanaman itu, akhirnya menjadi lazim untuk dibicarakan sebagai guyonan.

"Enak ya ngomong 'SONTOLOYO!' apalagi kalau jawanya lagi keluar. Jadi apa Ben?"

"Sontoloyo angon kebo!"

Meja makan itu semakin riuh oleh tawa tiga lelaki itu.

Hingga kemudian....

Tawa mereka perlahan berhenti, ketika mendapati ada seorang gadis yang beberapa jam yang lalu menjadi pusat perhatian, kini ada di sekitar mereka. Tepatnya ada di meja dapur dan nampak sedang mengisi panci dengan air dari kitchen sink.

Monochopsis [2]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ