[2] Detik Yang Terlampau Cepat

778 141 8
                                    

Namanya Bening.

Dan Bentara tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya ketika dua netra itu saling berpapasan. Sekejap, sebelum Bening memutus tatapan itu. Bentara masih sejenak tergugu sebelum tersadar dan akhirnya mengumandangkan iqamah. Menjadi imam salat dengan membawa satu titik kedamaian yang entah karena dibawa oleh hujan atau dibawa oleh sepasang mata redup.

Selesai salat, Bentara dikejutkan dengan adanya sang profesor yang ternyata menyusul menjadi makmum. Disalaminya sang profesor begitu terlihat sudah menyelesaikan ritualnya. Bentara berdiri disusul sang profesor dan mereka berjalan beriringan keluar dari mushala. Bertepatan dengan Bening yang juga baru berdiri dan hendak keluar juga.

"Dek, makan bareng ya."

Dan Bening hanya berlalu tanpa sedikit pun melirik. Mendahului keluar dari mushala dengan langkah yang sangat tenang. Bentara jadi merasa, bahwa di sini kalau memang ada pihak yang tertekan, itu justru sang profesor. Padahal yang jelas-jelas berbuat kurang sopan adalah gadis itu.

Errrr.... Bentara jadi mendadak geregetan. Figur gadis yang nampak belakang itu perlahan hilang dari pandangan. Betapa dia nggak tahu bagaimana ayahnya sangat dihormati di kampusnya.

Kalau Bentara yang berlaku seperti tidak menghargai orang seperti itu, sudah habis pasti tangannya dicubit ibunya sampai biru!

Bening ini minta dicubit juga atau gimana sih! Asli, Bentara beneran jadi geregetan. Mana dia tidak mungkin tanya langsung ke profesornya. Jangankan tanya, ada di kondisi sekarang ini saja, dia sudah sangat merasa serba salah. Serba canggung.

***

Demi apa pun, Bentara tak bisa mengalihkan ekor matanya dari sosok Bening yang terus mondar-mandir di dapur. Sedangkan dia dan ayah sang gadis sedang makan malam persis di depannya. Kejadian yang sama persis dengan saat mereka makan siang tadi.

Kali ini Bening memakai baju batik pendek dan celana batik senada di bawah lutut. Tampilan yang menurut Bentara sangat sederhana.

Apa Bentara harus mulai mengakui bahwa sebenarnya ekor matanya sedari tadi bukan hanya terpaku pada gerak tangan sang gadis, tapi juga pada wajahnya? Sejak sama-sama terpaku pada pandangan di daerah medan magnet, Bentara tergelitik oleh rasa yang tidak biasa. Ketidakbiasaan yang membawa matanya untuk mencuri pandang paras Bening.

Gadis itu. Bagaimana ya mengatakannya?

Ada seberkas kekuatan tak kasat mata yang Bentara berani bertaruh dinamakan aura. Bentara agak rikuh mengakuinya, tapi dia yakin bahwa kekuatan aura yang dipancarkan Bening ini yang pada akhirnya menjerat dirinya untuk terus tanpa bosan mencuri pandang. Sungguh klise dan picisan! Bentara sadar penuh.

"Makan di sini aja Ben kalau di kosan nggak ada makanan. Biasanya masak apa beli?" tanya sang profesor yang membuyarkan kontak mata sepihak Bentara untuk Bening.

Bentara tersenyum kalem, "Biasanya masak, Pak. Kadang masak nasi trus lauknya beli."

"Rajin juga. Ceplok telor ya seringnya?"

Bentara tertawa, "Hahaha kalau kepepet sih, Pak. Sering masak sayur juga sama bikin sambel. Kalau nggak makan sayur sama sambel berasa ada yang kurang, Pak. Di rumah selalu makan sayur."

"Saya makan juga harus ada sayur. Makin berumur susah pencernaannya kalau nggak ada sayur. Rumahmu di Wonosobo ya?"

"Banjarnegara, Pak. Pas di Diengnya."

"Oalah! Pantesan! Di sana penghasil sayuran ya harus makan sayur setiap hari, tho."

Bentara menganggapi dengan tawa kecil, "Iya, Pak."

"Tapi Ben, Dieng itu pestisidanya tinggi lho. Termasuk yang tertinggi juga itu di Indonesia."

"Begitu lah, Pak. Cara tercepat untuk dapat hasil melimpah tanpa banyak kerugian."

Sang dosen mengangguk setuju, "Makanya nanti kembali ke kampung Ben, tunjukin hasil belajarmu selama ini."

"Begitu rencananya, Pak."

"Dieng ya. Sudah lama juga saya nggak ke sana. Terakhir waktu Bening SMP kayaknya. Suka tuh Bening tempat yang dingin-dingin. Kita waktu ke sana pas menjelang Agustusan. Pas Dieng Culture Festival. Rame itu."

"Iya, Pak. Pasti selalu ramai kalau menjelang DCF. Alhamdulillah di rumah bisa jadi homestay juga. Main lagi Pak ke Dieng."

Sang dosen tertawa, "Pengennya, Ben." Kemudian pandangan sang dosen mengarah pada anak gadisnya yang entah sedang sibuk menggoreng apa, "Dek, kita terkahir ke Dieng waktu kamu SMP ya? Mau main ke sana lagi, nggak? Yuk kapan-kapan main sekalian mampir ke rumah Mas Bentara."

Lagi-lagi Bentara menelan makanan dengan susah payah seperti kejadian siang tadi. Di saat sang dosen dengan 'seolah tak ada apa-apa' mengajak sang puteri berdialog. Yang tentu saja berakhir monolog.

Sang dosen yang tadinya berbicara menghadap sang puteri, begitu tidak mendapat tanggapan, kembali memfokuskan pandangan pada makanannya di piring. Dan seperti yang sudah-sudah, waktu seolah membeku.

Tapi ada satu hal yang berbeda. Satu hal yang entah jadi keberuntungan Bentara atau justru kesialan. Ketika Bentara menangkap dalam detik yang terlampau cepat, mata Bening yang terlambat menghindar dari dua pasang mata yang bertubrukan.

Waktu seolah kembali membeku. Walau hanya hitungan detik. Tapi Bentara, merekap kerjap indah itu untuk hitungan milenia.

***

Hari ini dalam usia menjelang 21 tahun, Bentara tak pernah dihadapkan pada perasaan resah yang tidak beralasan seperti ini. Hidupnya terlalu lurus dengan beberapa hal yang mampu dia prediksikan.

Resah yang lebih abstrak dibanding kesulitan-kesulitan yang dia hadapi untuk berada di titik ini. Resah yang lebih abstrak dari perjuangannya untuk menjadi seorang mahasiswa berprestasi. Resah yang lebih mendebarkan dari sesi-sesi berbicara dalam forum internasional.

Resah ini menyenangkan, sekaligus menggelisahkan. Untuk hidup Bentara yang begitu lurus, akhirnya dia menyadari satu hal.

Bahwa dia jatuh cinta.

Jatuh.

Cinta.

Pada seorang sosok yang begitu dingin dari gestur hingga terpancar dari mata. Sosok yang bisa dikonfirmasi oleh Bentara menyimpan rahasia, atau luka, yang tidak coba dia tutup-tutupi.

Hitungan jam dalam milenia yang telah dilalui Bentara seolah tak bisa menjelaskan dengan logika bagaimana mungkin afeksi bisa datang secepat ini? Seintens ini? Tanpa bisa diantisipasi?

Hanya karena satu perempuan dan matanya. Pada satu perempuan yang bahkan dia tahu namanya bukan dari perkenalan jabat tangan.

Bening.

Nama yang bagi Bentara terlalu magis dan terlalu melekat dengan nilai kecocokan yang sangat tinggi dengan perempuan yang sedang tengadah di bawah hujan itu.

Dari balik jendela mushala, Bentara mengamati gerak gerik gadis yang menurutnya terlalu unik itu. Malam yang belum melarut dihadiahi langit dengan rintik yang cukup deras. Bening, gadis itu, tengah bermain hujan-hujanan di halaman samping dengan tanpa dosa.

Tubuhnya kuyup.

Tapi satu hal yang tidak akan pernah Bentara sangkal, bahwa Bening yang sedang bermain bak anak kecil itu, di kala malam hujan, jauh lebih hidup dari yang beberapa jam lalu dia lihat.

Kalau pun Bentara memang jatuh cinta, kesulitan lah ia memilih, mata mana yang sesungguhnya membuatnya jatuh. Mata dingin yang dua kali berpapasan dengannya atau mata berbinar yang saat ini tengah dia pancarkan dalam kesendiriannya menikmati hujan.

Apa pun itu, melihat Bening, Bentara seolah ikut merayakan hati yang sedang jatuh pada malam, hujan dan seorang perempuan bernama Bening.

***

Semoga bahasanya nggak terlalu cheesy ya wkwkwk dan entah feelnya dapet apa enggak 🙈 Diharapkan dengan sangat masukannya dari teman-teman hehehe

Mungkin aku sekalian bilang aja kali ya kalau ceritanya mungkin akan agak boring karena isinya ya mostly Bening dan Bentara WKWK

Oct 20, 2019~

Monochopsis [2]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora