Part 7

297 27 0
                                    


  Senja mulai terlihat di ufuk barat. Bagaz menghentikan kegiatan fisiknya. Tubunya sudah basah oleh keringat. Dia kembali ke kamarnya. Menyapu keringatnya kasar dengan handuk yang menggantung di pundaknya.

  Dia berdiri di balkon lantai dua. Pikirannya melayang tidak pada tempatnya. Bayangan akan Jihan dan Zahra tadi mengganggunya. Ada rasa iba yang berbaur dengan kekaguman akan sosok yang dilihatnya. Seorang ibu yang bekerja keras demi bayinya. Apapun dia lakukan asalkan halal untuk bertahan hidup. Dia juga begitu profesional dalam pekerjaannya. Hari pertamanya begitu sempurna, Jihan tak melakukan kesalahan sedikitpun.

  Bagaz menghela napas panjang. Nalurinya berkata ingin membantu Jihan. Namun egonya melarang untuk terlalu baik pada orang yang baru dikenalnya. Bagaz berjalan menuju kamar mandi. Retinanya fokus pada deretan shampo, sabun dan pasta giginya. Otaknya mulai bekerja, dia mendapatkan ide brilian.

  Bagaz segera mandi dan bersiap diri. Kemeja abu yang dilipat lengannya hingga ke siku, dipadu dengan celana jeans panjang membuat penampilannya dapat memikat setiap gadis yang memandangnya.. Bagaz menyisir rambutnya sambil sesekali mengusapnya dengan minyak rambut.

  "Lho Bos? Mau keluar?" tanya Arya yang tiba-tiba muncul di sana.

  "Peralatan mandiku banyak yang habis, sudah waktunya belanja," jawab Bagaz masih sibuk dengan rambutnya.

  Arya melirik ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Terlihat jelas peralatan mandi yang dibicarakan masih tersedia di sana. Arya mengernyitkan dahi tidak mengerti.

  "Malah bengong? Cepat bersiap! Jangan makan gaji buta," tegur Bagaz.

  "Assyiapp Bos!" Arya menurut saja, nanti pasti dia bisa tahu alasannya.

  Beberapa menit kemudian keduanya telah siap pergi. Mereka menuruni tangga, di depan pintu mereka bertemu dengan Jihan.

  "Kami akan pergi ke supermarket, apa kamu butuh sesuatu?" tanya Bagaz pada Jihan. Arya memicingkan mata merasa ada yang tidak beres.

  "Bahan makanan masih lengkap, Mas. Sepertinya tak ada yang kubutuhkan," jawab Jihan.

  "Oh begitu! Ok, aku pergi dulu! Jangan lupa siapkan makan malam."

  "Baik, Mas."

  Bagaz berlalu menuju mobil jeepnya. Arya tersenyum pada Jihan sebagai isyarat akan segera pergi.

  "Hati-hati Mas!" bisik Jihan pada Arya.

  Tak butuh waktu untuk sampai di sebuah bangunan besar yang menyediakan segala macam kebutuhan. Bagaz berjalan sedikit lambat, padahal biasanya dia selalu berjalan cepat ke arah barang yang dia butuhkan ditempatkan. Tapi kali ini dia terlihat mencari sesuatu yang belum dia ketahui tempatnya. Arya yang mengekor di belakangnya terlihat bingung.

  Bagaz berhenti pada lorong di mana berbagai macam merk susu bayi dipajang. Bagaz mulai melihat-lihat susu yang cocok untuk bayi berusia 3 bulan.

  "Bukankah kamu bilang mau beli peralatan mandi?" tanya Arya tak bisa lagi membendung rasa penasaran.

  "Iya sekalian beli susu untuk Zahra," jawab Bagaz kelepasan.

  "Kamu ...?" Arya mulai berpikir sesuatu yang tidak ingin orang ketahui dari Bagaz.

  "Aku cuma kasihan, lagipula rumah jadi berisik jika Zahra terus menangis," kilah Bagaz, segera menyambar 2 kotak besar susu bayi dengan merk terbaik.

  "Oh, kasihan." Arya menggumam, tapi dia tahu Bagaz punya perhatian lebih pada Jihan.

  "Ada yang bisa kami bantu?" seorang pramuniaga menawarkan diri.

  "Kami baru saja memiliki bayi, jadi kami butuh semua peralatan bayi untuk usia 3 bulan," jawab Bagaz senang ada yang menawarkan bantuan.

  "Kami?" Wanita yang mengenakan seragam rapi itu mengulang kata-kata Bagaz seperti bingung. Pasalnya yang di hadapannya bukan sepasang suami istri melainkan 2 orang yang berjenis kelamin sama.

  "Oh bukan, maksudku, aku dan istriku. Dia adikku, hanya menemani." Bagaz kebingungan menjawab, raut wajahnya sudah memerah seperti tomat. Arya terkekeh mendengar obrolan itu. Bagaz menginjak kaki Arya agar dia diam dan berhenti mengolok dirinya.

  Selanjutnya Arya tak lagi banyak bicara. Meski Bagaz sudah mulai sibuk memilih segala keperluan bayi, seperti botol susu, sabun atau shampo bayi,  dan kebutuhan bayi lainnya.

  Setelah keranjang mereka penuh dengan kebutuhan bayi. Mereka langsung ke kasir. Bagaz lupa membeli peralatan mandinya sendiri. Tidak biasanya Bagaz melupakan tujuan utamanya. Kejanggalan itu membuat Arya yakin ada sesuatu yang lain.

  Mereka segera pulang, rupanya mereka cukup lama di dalam supermarket. Entah barang apa saja yang dibeli. Tanpa tahu fungsi dan kegunaanya. Asalkan berhubungan dengan bayi, Bagaz mengambilnya. Bagian belakang mobil jeep itu penuh dengan barang belanjaan.

  "Beneran cuma kasihan?" tanya Arya dalam perjalanan.

  "Jangan mikir macam-macam!"

  "Tentu saja tidak, Bos. Lagipula mana mungkin majikan suka pada pembantunya. Derajatnya berbeda jauh," cibir Arya.

  "Aku tidak pernah menilai orang seperti itu. Baik tidaknya orang tidak dilihat dari status atau kedudukannya. Lagipula kenapa dengan Jihan? Dia sempurna sebagai wanita, hanya lelaki buta yang tak bisa jatuh cinta padanya ...." Bagaz menghentikan ucapannya. Dia merasa kelepasan bicara.

  "Oh begitu, aku tahu sekarang," gumam Arya, senyuman nakalnya kembali mengembang.

  "Sial!" bisik Bagaz.

  "Kau tak bisa sembunyikan apapun dariku Bos. Jadi mengaku saja! Hahahahhh ...."

  "Ya, ya ya! Aku tertarik padanya."

  "Begitu dong! Aku pasti dukung kok!"

  "Bukan masalah didukung atau tidak."

  "Lalu?"

  "Kita baru saja mengenalnya, kita belum tahu banyak tentang dia. Siapa dia? Asalnya dari mana? Siapa tahu dia penipu berkedok ibu dan anak yang kesusahan?"

  "Aku yakin dia baik kok! Lanjut aja sudah!"

  "Terus gimana kalau ternyata dia masih punya suami? Kita tidak tahu kan masa lalunya seperti apa?"

  "Iya juga sih!"

  "Meskipun aku tak pernah membedakan status seseorang, tapi untuk menjadi istri aku harus tetap memikirkan semua itu. Keluargaku cukup berpengaruh di kota ini. Aku tak mau sampai ada kabar buruk yang merusak nama baik keluargaku."

  Arya mengangguk-angguk tanda mengerti. Keduanya tak lagi banyak bicara. Mobil yang mereka kendarai sudah mendekati rumah. Cukup lama mereka menunggu satpam membuka gerbang.

  "Berikan ini pada Jihan, jangan bilang ini dariku. Bilang saja kau yang berikan!"

  "Why?" tanya Arya tidak mengerti.

  "Biarkan tetap ada batasan antara majikan dan pekerja di rumah ini. Aku tak mau dia salah mengartikan perhatianku."

  "Assyiap Bos!"

  Bagaz segera masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Arya yang cukup kerepotan menurunkan barang belanjaan. Bagaz langsung menuju meja makan dan mulai menyantap makan malamnya. Jihan berada di sana untuk melayani. Saat itu dilihatnya Arya yang kerepotan membawa banyak kantong belanjaan. Jihan setengah berlari berniat membantu Arya.

  "Belanja apa saja ini Mas?" tanya Jihan.

  "Banyak, ini semua untukmu."

  "Untukku?" Jihan bingung.

  "Yah, untuk keperluan Zahra. Aku kasihan melihat dia kelaparan. Jadi kubelikan ini semua."

  "Terima kasih banyak Mas Arya? Aku berhutang banyak padamu." Terharu Jihan mendengarnya. Sudut matanya mengembun.

  "Sudah tidak apa-apa! Lupakan saja ini semua, yang penting kamu dan Zahra nyaman di sini."

  Arya berlalu pergi, tidak nyaman mengakui kebaikan orang lain untuk dirinya. Sementara Bagaz tersenyum puas melihat kebahagiaan di wajah Jihan.

Gadis Di Balik Kelambu Hitam (Terbit)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz