Spatium 18

16 2 0
                                    

Seperti dugaannya, hari ini ia diuyeng habis-habisan sama mak lampir. Siapa lagi kalau bukan Arin yang emosi saat ditinggal di kafe kemarin.

"Sumpah deh, gue lupa, bener!" Ucap Kara sembari mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. Tapi emang dasarnya Arin yang sudah berencana dendam, cewek itu tidak henti-hentinya mencubit lengan Kara. Sementara Genta tidak perlu repot-repot untuk membela, cowok itu selalu dipihak Arin.

"Udah deh, Rin. Nanti tangan kamu sakit. Aku gantiin aja sini," ucap Genta setelah selesai tertawa. Arin meliriknya sinis, tapi tak urung mempersilakan Genta.

Kara mundur dengan tatapan horor. "Ooo jangan macem-macem lo, kutil badak!" Tapi, Genta tetap maju dengan seringai jahilnya. Kesempatan  menistakan Kara.

"Lo maju, gue bakal bilang ke abah lo kalau selama ini lo suka malakin Langit!" Ucap Kara cepat ketika Genta mengangkat tangannya tinggi.
Genta tersenyum meremehkan. "Easy, tinggal bilang ke Langit kalau ditanya apa-apa jangan dijawab." Kara tersenyum kecut. Sialan memang Genta.

Genta tersenyum misterius, sementara Kara sudah dagdigdug jeder dibuatnya. Cowok di depannya itu tidak pernah kehabisan akal untuk mejahili orang. Sekarang apa lagi?

"GENTAAAA!" Kara menjerit keras dan segera menghindari Genta. Entah dapat dari mana rumput yang digunakan untuk menggelitik kuping Kara yang sensitif itu. Suka banget liat temen ternistakan!

Kara berlari menghindari Genta yang terus menggoyangkan rumput ke telinganya. Memutari kantin, dan menciptakan gaduh yang mengundang gelak tawa. Tapi ada juga yang menatap tidak suka, termasuk Ava.

Cewek itu meremas tangannya  hingga kemerahan. Kenapa mereka seolah fine fine saja setelah ia keluar?

"Lo udah berhasil masuk di Seraya lagi?" Tanya Ava mencegat Nadia yang melewati mejanya.

Cewek pemenang olimpiade tingkat provinsi itu menatapnya datar, lalu tersenyum kemudian. "Belum. Tapi gue masih berusaha dapetin lampu ijo dari Langit."

"Oke. Pokoknya lo harus berhasil!"

Nadia mengangguk, lantas tersenyum manis. "Harus. Karena cuma dengan cara itu, yang bisa ngembaliin keadaan."

***

Langit hadir ketika keributan sudah mulai mereda di kantin. Ia menatap Kara, melempar pertanyaan, ada apa dengan cowok itu.

"Tuh, Arin sama Genta sialan. Sekongkol buat bikin gue menderita. Hancur harga diri gue!" Sungut Kara sambil menatap kesal pada Genta yang dengan santainya sedang melahap mie ayam.

"Eh, tapi untung ya, Jingga nggak lihat," ucap Kara senyum-senyum sendiri. Arin menatap Kara sebal. Orang baru jatuh cinta emang gila.

"Jinggaaaa mulu yang ada di otak lo! Tuh, pantengin tiap sore di langit sampe puas!" Omel Arin setelah menyeruput jus mangganya.

Kara terkekeh pelan menanggapi omelan sahabatnya itu. Ia mengaduk mie ayamnya sambil terus tersenyum, menerawang ke depan. Edan.

"Eh.." Genta menatap Kara serius, "kok lo bisa tiba-tiba ketemu Jingga sih?"

"Panjanglah ceritanya." Awalnya Langit tidak tertarik dengan obrolan Kara dan Genta. Arin sendiri sudah mengajaknya berbicara dengan topik lain. Tapi, ketika— entah siapa—menyinggung soal ibunya, ia mulai mendengarkan.

"Yah, gue sih sebenernya pengen bantu juga. Tapi takut gimana-gimana. Jingganya juga cuma cerita kenapa hubungan mereka bisa kaya gitu." Langit sempat terkejut karena Genta berbicara serius. Tumben.

"Menurut gue ya, kita bisa sedikit bantu, dengan mengembalikan apa yang dia suka," Kara melirik Langit, "jadi vokalis kita, misalnya.

"Gue perhatiin, Jingga selalu excited setiap gue ngomongin tentang musik. Itu sih kalau Langit setuju," ucap Kara dengan muka serius.

"Yaah, kalau Nadia nggak terus-terusan pdkt ke Langit, bukannya ke kita, harusnya Langit setuju. Nggak perlu mikir lagi, mengingat apa yang dulu dia lakuin ke kita, bukan cuma ke Langit," sarkas Kara menatap Langit tajam.

Suasana berubah canggung. Di dalam persahabatan mereka, memang Langit dan Kara yang sering berbeda kubu. Selalu mereka, yang menciptakan suasana canggung padahal sebelumnya biasa saja.

Langit menghela nafas, menatap balik Kara tanpa segan. "Orang berhak dapat kesempatan ke dua." Arin dan Genta sempat menatap kecewa sebelum tahu kalimat apa yang akan diucapkan Langit selanjutnya. "Bisa aja, ini juga kesempatan kedua buat Jingga."

***

"Langit!" Seru Nadia yang sedang berjalan cepat mengejar Langit. Tatapan heran yang berarti 'kenapa Nadia, sosok yang sangat anggun itu harus berteriak dan mengejar seseorang?' tidak ia pedulikan. Langkah Langit terhenti tanpa menoleh, menunggu Nadia datang sendiri ke hadapannya. Tanpa aba-aba, cewek itu menarik lengannya dengan langkah cepat.

"Kenapa bukan gue?" Tanya Nadia lirih ketika mereka sampai di taman belakang. Langit tahu ke mana arah pembicaraan ini berujung.

"Kenapa harus lo?" Nadia tersentak mendengarnya. Menatap Langit dengan tatapan tak percaya, penuh kecewa.

"Lang, gue pengen memperbaiki keadaan yang sempat gue bikin kacau. Gue pengen banget, Lang."

"Yakin? Ada tujuan lain? Apa yang lo mau, Nadia? Apa yang mau lo ambil dari kita? Gue hafal seorang Nadia Amara. Jadi, sekarang bilang, apa tujuan lo?"

Nadia seharusnya tidak perlu terkejut. Bukankah memang ia ingin bahwa Langit selalu mengerti dirinya? Sampai sekarang pun cowok itu masih mengerti dirinya. Cewek itu terduduk lemah di bangku. Menatap kosong rumput yang hampir menguning. "Semuanya nggak sama kaya dulu lagi, Lang. Apa yang gue kira bikin bahagia, justru nusuk gue sendiri." Suara Nadia terdengar bergetar. Tidak perlu Maudy Ayunda untuk menebak bahwa cewek itu tengah menahan tangis.

"Gue nggak nyangka, semua piala, olimpiade, penghargaan, nggak bisa bikin Papa Mama punya alasan untuk tetap bersama. Meskipun demi gue, alasan itu nggak pernah ada.

"Dan semua yang udah gue kumpulin dengan belajar siang malam itu, nggak cukup buat orang-orang tulus berteman sama gue. Nadia yang dulu terkenal easy going, sekarang cuma cewek kaku yang cuma belajar, dan antisosial. Terus dari mana gue bisa bahagia?!" Akhirnya, air mata itu tumpah. Apa yang selama ini ia pendam sendirian, lagi-lagi tumpah di hadapan Langit.

Nadia tidak berniat menyeka air matanya sebelum berbicara. Tidak peduli pada lidahnya yang mengecap rasa asin karena air mata. "Dan lucunya, orang yang gue anggap bakal jadi sumber kerepotan, malah bikin kangen. Ternyata semua kebahagiaan gue emang bersumber dari mereka. Dan lo tau siapa itu, Lang! Jadi kenapa nggak ngasih kesempatan itu ke gue?"

"Gue sampai sekarang nggak pernah tahu, siapa yang lebih berhak antara lo dan Jingga. Karena gue sendiri nggak berhak menentukan itu. Gue cuma pengen lo tahu, bahwa kebahagiaan itu dari diri lo sendiri. Jangan gantungin ke orang lain. Kalau orang itu nggak ada, lo mau jadi apa?"

Langit memaksa Nadia menatapnya. Ingin menunjukkan bahwa cowok itu masih sama tulusnya seperti dulu. "Yang perlu lo tahu. Kalau lo pengen bisa berteman sama gue, Kara, Arin, Genta kaya dulu, nggak perlu gabung di Seraya lagi. Karena gue tahu, lo bakal susah ngimbangin sama lomba-lomba lo itu. Cukup minta maaf, Nad. Kita cuma butuh itu dari lo, yang paling tulus."

Tangis Nadia pecah, air matanya semakin deras. Tumpah ruah di dada bidang Langit tanpa ragu. Mengeluarkan semua beban dipundaknya yang terasa berat tanpa sisa. Sementara Langit, menepuk puncak kepala cewek itu dengan senyum tipis.

"Terus, kenapa lo milih Jingga?" Tanya Nadia ketika mereka berjalan di koridor. Cewek itu berhenti sejenak untuk menatap Langit yang turut berhenti melangkah. "Lo suka?"

***

TBC
.

1116 kata! Jangan lupa vote komen yay!
Thank u! 💙

-shascan, 22 Oktober 2019
.

SpatiumWhere stories live. Discover now