Prolog

396 14 0
                                    

Seorang pria tua duduk termenung di beranda kamarnya. Matanya yang sayu memandang lurus keluar jendela. Memandang jalanan yang selalu terlihat ramai setiap hari. Di sampingnya terdapat sebuah meja yang di atasnya sudah tersedia kopi hangat yang masih mengepulkan asap dan sebuah laptop usang yang menampilkan tampilan Dasboard MS Word, seperti dia akan menuliskan sesuatu di dalam sana.

Lama kakek itu memandang ke luar jendela, dan tanpa sadar pendangannya mengarah kelangit yang membentang biru di atas sana yang menampakkan warna biru tanpa awan sedikitpun. Kakek itu kemudian tersenyum penuh arti dalam diamnya, dan jatuhlah bulir bening itu di pipinya. Dia termenung akan kejadian-kejadian yang pernah dia alami dulu waktu dia kecil sampai masa tuanya. Kejadian yang membuatnya selalu ingin bersyukur menjadi dirinya saat ini.

Ingatan yang mana saat itu dia begitu menderita akan kehidupannya dan perjuangannya untuk dunia. Keinginannya untuk merdeka secara keuangan yang membuat dia lupa akan sesuatu yang lebih penting dari semua itu. Masalah tekat membuat dia lupa akan apa yang mestinya dia niatkan dan perjuangkan, sampai tiba masa dimana dia merasa hampa dan tersadar akan kebodohannya waktu itu.

Wajah kakek itu kembali tersenyum cerah di saat ingatannya kini mengarah pada kejadian-kejadian manis yang terjadi di tengah perjuangannya. Di saat dia merasa hanya berfokus untuk meraih mimpinya semasa kuliah, dengan begitu kekurangannya dirinya dan besarnya tekatnya untuk menjadi manusia yang sukses membuat banyak wanita datang mengejarnya, bahkan mengalahkan teman-temannya yang saat itu bergelimang kemewahan dan kekayaan.

Sampai di suatu saat di mana dia melihat sendiri seorang bidadari yang tidak pernah menginginkannya. Bidadari bercadar yang akan selalu hadir dalam doanya bahkan dari pertama bertemu sampai sekarang. Perempuan yang membuatnya harus berubah dari dirinya yang bebas waktu itu, sampai dia berubah menjadi lebih baik, sampai di masa dia benar-benar menjadi lelaki yang pantas.

Namun perempuan itu menolaknya di saat dia berubah dan menjawabnya dengan sesuatu yang sangat membekas di hatinya dan entah kenapa perempuan pendiam itu selalu membuatnya ter sadarkan.

Perempuan yang waktu itu menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang tidak disangka dari semua perjuangannya untuk perempuan itu. Perempuan itu malah hanya menjawabnya dengan gelengan kepala dua kali kemudian berlalu meninggalkannya dengan memberi salam.

Itulah bidadari bercadarnya, sosok wanita yang mengubahnya menjadi lebih bahagia seperti sekarang ini, sosok wanita yang selalu ingin dia jumpai seumur hidupnya, sosok wanita yang akan selalu dia kenang dalam doanya setelah ibunya. Karena memang dari masa susahnya waktu kecil perempuan itu sudah ada bersamanya menemaninya dan mengisi hidupnya, tapi dia memilih pergi meninggalkannya sampai dia kembali dan semuanya terlihat sudah sangat berbeda, bahkan mereka berdua terlihat seperti orang lain saat bertemu kembali. Bidadarinya terlihat seperti orang lain yang membuatnya seperti bertemu orang asing, tapi di sana dia yakin bidadarinya selalu sama walaupun semakin susah untuk dia jangkau.

Tersadar dari lamunannya kakek itu mulai menggerakan tangannya untuk mengambil kopi yang ada di atas meja di sampingnya. Dia kemudian menyesapnya beberapa kali dan menaruh cangkir itu kembali. Setelah itu dia mengarahkan tubuhnya menghadap meja tanpa menghilangkan senyuman yang sejak tadi tersirat tipis di bibir kusutnya, namun pancaran mata itu sudah berubah cerah tanpa sedikitpun tanda air telah keluar darinya.

Dengan perlahan tangan tua itu bergerak mengarah ke laptop yang ada di depannya dan mulai menari untuk mengetikan sesuatu di atasnya seirama dengan senyumannya yang semakin mengembang.

"Untuk cucu dan anak-anakku, tentang 'Alunan Memori'"

****

Ini serita keduaku yang sebenarnya menjadi ke 5 kalau saja crita yang kemaren tidak dihapus.

Hmmmh, semoga suka.

Alunan MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang