LAGU KUTUKAN

149 14 0
                                    

"Di rumah inilah seorang anak perempuan berumur tujuh tahun ditemukan tewas tergantung di kamarnya lima hari yang lalu. Sampai detik ini, belum diketahui secara pasti penyebab kematian korban, apakah murni bunuh diri atau dibunuh, mengingat korban adalah anak-anak. Namun, tidak juga ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Saya Elvita Maharani, melaporkan dari Ciwidey Bandung, Jawa Barat."

Setelah reporter itu menyelesaikan tugasnya di siang yang terik, temannya yang merupakan juru kamera langsung mengajak Vita kembali ke kantor.

"Sebentar, Yud," tahan Vita.

"Ada apa lagi? Kan, kita sudah selesai."

Vita yang masih berdiri di halaman menatap tajam ke rumah yang kini tak berpenghuni. Rumah sederhana dengan dinding berwana kuning gading yang catnya telah mengelupas di berbagai sisi. Ada aura aneh yang ia rasakan. Bagi Vita, rumah tersebut tampak tak biasa.

Hari itu adalah kali kedua ia menyambangi TKP, sebelumnya ia telah melaporkan berita tepat di hari kejadian. Namun, Vita tidak merasa puas.

"Aku masih penasaran," kata Vita.

Yudi mencebik. "Akh. Kamu itu kebiasaan, Vit. Selalu saja ingin tahu lebih dalam soal kasus-kasus semacam ini. Sudahlah ... kita ini hanya bagian dari jurnalis. Biarkan saja polisi yang menanganinya."

Vita menoleh. "Justru karena kita bagian dari jurnalis, Yud, kita harus bisa menggali informasi lebih dalam lagi."

Yudi mendesah pelan, lalu menurunkan beban kamera di bahunya. "Ya, aku tahu. Tapi kamu masih ingat tidak kejadian beberapa bulan lalu, kematian satu keluarga di Banten?"

Vita mengangguk.

"Tiga malam aku diganggu arwah mereka, dan itu semua gara-gara kamu nekat mencari tahu penyebab kematian keluarga itu."

Vita terkekeh. "Maaf, Yud."

"Ayolah, kita ke kantor." Yudi mengangkat kembali kameranya, lalu jalan tergesa menuju mobil.

Sementara itu, Vita masih terpaku. Entah mengapa kakinya justru melangkah ke teras rumah yang sangat berdebu dengan dedaunan kering yang berserakan.

Chica. Gadis kecil yang tewas secara misterius tersebut sungguh telah mengoyak rasa penasaran Vita. Sejak kematian anak semata mayang itu, orang tua korban langsung pergi entah ke mana.

Perlahan Vita mengintip ke dalam rumah dari jendela. Kosong. Tidak ada satu barang pun di dalam. 'Benar-benar pindah. Sepertinya mereka amat terpukul', batin Vita.

Vita melirik ke handel pintu. Kini hatinya tergugah ingin melihat ke dalam rumah.

"Vit!" seruan Yudi mengejutkan Vita. Mengetahui bahwa temannya sudah tak sabar, Vita menghampiri Yudi.

"Yud, tunggu sebentar bisa tidak?" tanya Vita.

"Kenapa? Kamu mau apa?"

"Aku sudah tak tahan ingin buang air kecil," jawab Vita berbohong.

"Apa tidak bisa nanti saja di jalan, berhenti di pom bensin mungkin?"

"Aduuh ... aku sudah tidak tahan, Yud!" Vita meringis.

"Terus, kamu mau buang air di mana, hem? Tidak ada rumah penduduk di sekitar sini, lho."

Vita menengok kiri-kanan. Ya, Yudi benar. Memang tidak ada rumah lain di sekitar TKP. Hanya ada kebun dan semak-semak.

"Mm ... di belakang rumah itu ada sumur, aku buang air di situ saja," ujar Vita kembali berbohong.

"Serius kamu, Vit? Kamu tahu dari mana di belakang sana ada sumur? Tidak takut? Atau mau aku temani?"

"Ish, kurang ajar kamu!" Vita mengarahkan kepalan tangannya ke arah Yudi. "Sudah jangan banyak tanya. Aku tidak takut, dan bisa sendiri." Ia berbalik badan lalu kembali menuju rumah itu.

"Hati-hati, Vit!" seru Yudi tanpa dihiraukan Vita.

Vita berjalan ke belakang rumah. Sebenarnya ia hanya ingin mencari celah agar bisa masuk ke dalam rumah, dan tidak mungkin lewat pintu depan karena akan diketahui oleh Yudi. Pria bertubuh kurus itu sudah pasti sangat melarang tindakan nekatnya.

"Ah, ternyata ada pintu," gumam Vita sesampainya di belakang rumah. Perlahan ia memegang handel pintu, ditekan, dan ... terbuka!

Vita sempat terkejut saat mengetahui jika pintu tersebut ternyata tidak dikunci. Ia memperhatikan sekitar, khawatir ada orang yang melihat. Setelah dirasa aman, Vita pun mulai masuk.

Ruangan yang pertama ia masuki adalah dapur. Terlihat dari wastafel yang sepertinya merupakan tempat cuci piring. Dengan berjinjit Vita terus masuk tanpa rasa takut. Pandangannya menyisir sekeliling rumah. Hanya tampak dinding yang penuh dengan sarang laba-laba.

"Baru ditinggal lima hari saja sudah seperti ini. Atau memang rumah ini tidak pernah dibersihkan?" gumamnya.

Kini tujuannya adalah mencari kamar Chica. "Itu dia," bisiknya saat melihat sebuah kamar tepat di samping kamar mandi.

Matanya menatap nanar tali yang masih menggantung di tiang pintu. Dengan gemetar tangannya menyentuh tali itu. "Mengapa tidak dilepas?"

Seketika Vita merasakan getaran hebat di tubuhnya. Kepalanya terasa berputar. Pundaknya pun berat. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tahu, sebentar lagi ia akan mendapat sebuah penglihatan.

"Mama ...."

Suara itu memaksa Vita membuka matanya. Sekarang, ia bisa melihat bayangan atau gambaran dari masa lalu di kamar itu.

Chica sedang menangis sendiri di atas kasur sambil mendekap kedua lututnya. Sesekali ia mengusap air mata sambil terus memanggil, "Mama ... Papa ...."

Tak lama kemudian Chica mengambil ponsel dari atas nakas. Sambil terisak, ia mulai merekam suara.

"Teman-teman, apakah mama papa kalian selalu sibuk seperti Mama dan Papaku? Chica tidak punya teman. Chica sediih ...."

Vita mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak. Ingin ia menghentikan penglihatannya, tapi rasa ingin tahu tak mampu ia tolak.

"Kalau kalian merasa kesepian juga sepertiku, kita nyanyi sama-sama, yuk!" Chica mengusap air matanya, lalu bernyanyi, "Mama pergi ... Papa pergi ... tinggallah aku sendiri ...."

Tiba-tiba, netra Vita menangkap sosok hitam di sebelah Chica. Sosok itu seperti ikut bernyanyi.

"Mama pergi ... Papa pergi ... tinggallah aku sendiri .... Kuambil tali, kugantung diri ...."

Bagai terhipnotis, Chica meletakkan ponselnya, lalu mengambil sebuah tali tambang dari dalam laci.

Vita menggeleng kuat. "Tidak! Jangan, Chica. Jangan ambil tali itu!" seru Vita. Namun, nihil, tak mungkin Chica mendengarnya, bukan?"

Kini Chica telah berdiri di depan Vita. Dengan menggunakan kursi, Chica mulai melilitkan tali di pintu. Leher kecil itu sekarang sudah masuk ke dalam lubang tali.

Vita terus mengurai air mata. "Tidak ... jangan ...," ucapnya lirih.

'Brak'

Kaki Chica menendang kursi sampai jatuh. Tubuh mungilnya meronta-ronta, tergantung. Tepat di hadapan wajah Vita, gadis malang itu pun mengembuskan napas terakhirnya dengan mata melotot dan mulut menganga.

"Tidaakk!" jerit Vita, menangis sejadi-jadinya. Kemudian ia melirik sosok hitam yang berdiri di sudut kamar. Tersenyum mengerikan, lalu menghilang.

Vita tersentak. Ia membuka matanya. Semua kembali normal. Napasnya terengah-engah. Genggaman tangannya perlahan terlepas dari tali, lalu ia terduduk lemas.

Manik matanya berkaca-kaca menatap kamar Chica. Ia tak menyangka akan mendapat bayangan seperti itu. Amat menyakitkan baginya.

"Apa itu?" Vita melihat benda kecil di pojok di dinding. Vita berdiri dan menghampiri benda kecil yang ternyata sebuah ponsel. Ponsel milik Chica. Vita tersentak, lalu mengambil ponsel itu.

'Tin!'

'Tin tin!'

Suara klakson mobil mengejutkannya. Ia hampir lupa bahwa Yudi sedang menunggunya. Vita segera memasukkan ponsel itu ke dalam ponsel celana, lalu berlari kecil ke luar rumah.

-tbc-

Dongeng Setelah TidurWhere stories live. Discover now