36: Stay With Me

4.8K 620 85
                                    

Jikalau ada manusia paling pengangguran di dunia ini, sudah barang pasti manusia tersebut adalah seorang Addar Quthni. Seperti sekarang ini misalnya, lelaki itu duduk berjongkok di teras cafe milik Siti sementara mobilnya ia biarkan terparkir secara sembarang di depan gerbang yang masih digembok. Cafe milik mantan istrinya itu jelas belum buka, orang buta saja pasti dapat merasakan hawa pagi yang masih sejuk. Bahkan jarum pendek di pergelangan tangan lelaki itu belum menyentuh angka enam.

Addar jelas sudah sepenuhnya sadar, sebab tidak mungkin ia berkendara dengan keadaan masih berada di alam mimpi. Ia juga menyadari jika waktu belum sampai pada pukul enam pagi—yang artinya ia belum sarapan dan masih harus menunggu hingga dua jam lamanya sampai cafe buka. Tapi tak mengapa, ia sudah memikirkan rencananya semalaman. Dua rencana untuk beberapa tujuan, seperti kata pepatah; sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Ia tak sabar untuk segera memulai rencananya, rencana yang akan membuat Siti batal menikah—jika memang seperti itu kenyataannya. Biarlah untuk beberapa jam ini ia percaya bahwa Siti akan menikah. Anggap saja bualan ibu tirinya semalam memang benar, tapi begitu ia menemui narasumber terpercaya, ia yakin betul bahwa prasangka ibunya salah besar. Siti masih menjadi miliknya, dan akan selalu menjadi miliknya.

Ketidaksabarannya membuat ia ingin segera menyusul perempuan itu yang rumahnya entah berada di mana, hingga waktu terasa berlalu sangat lama. Lamban sekali! Tetapi rupanya waktu dua jam bisa dia lalui dan sosok yang ia nantikan sudah tiba, kali ini ia mengenakan jilbab biru muda.

"Halo, cantik!"

"Ngapain kamu di sini?"

"Kenapa, memangnya? Takut Siti tahu jika salah satu pelayannya bertemu denganku di sebuah tempat karoke dengan pakaian seksi?"

Tika memucat, perlahan ia mengepalkan tangannya. Berurusan dengan pria di depannya adalah hal yang paling ia hindari.

"Biar kutebak, Siti pasti tidak tahu kalau kamu kerja sambilan di sana?" lanjut Addar. "Kalau kamu perlu uang, kamu tidak perlu capek-capek kerja di sana. Kamu bisa menghubungiku. Ini kartu namaku, kuberi tiga sebagai cadangan."

Begitu Addar meletakkan ketiga kartu nama dan hendak meninggalkannya seorang diri, Tika berdesis, "Keparat!"

"Simpan saja," bujuk Addar. "Di pertemuan pertama kita, Siti bilang kamu sedang banyak pikiran. Lalu di pertemuan berikutnya kita bertemu di tempat karoke plus-plus. Untuk itu aku membuat pertemuan ketiga ini sebagai jalan pintas untuk kamu, dan juga sebagai keuntungan untukku.

"Simpan baik-baik, cantik! Kamu pasti membutuhkannya, dan akupun sama...," ucap Addar. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga perempuan itu, "Membutuhkanmu di atas ranjang."

Setelahnya, Addar benar-benar berlalu dengan sebuah senyum siluman. Ia sudah siap melanjutkan rencananya yang lain.

***

Bel pelajaran berakhir bagi siswa-siswi kelas satu dan dua berdering. Seperti biasa, si bontot Yasna akan duduk menunggu siapa yang tiba lebih dulu; orang yang menjemputnya atau Akbar—yang sekitaran dua jam lagi kelasnya sudah berakhir. Yasna menyadari, jika bangku di taman sekolah tempat ia menunggu adalah tempat umum. Tetapi ketika matanya menangkap sosok lelaki yang tak asing duduk sambil menguap di sana, ia jadi merasa ingin mencari jalan lain. Ia enggan bertemu dengannya. Enggan sekalipun dipaksa.

"Nana..."

Ia tak suka panggilan itu.

"Nana, apa kabar Sayang? Maaf ya, Ayah jarang jenguk Nana."

Yasna memilih berjalan cepat ke arah pintu masuk, tak peduli apakah jemputannya sudah datang atau belum. Ia akan terus berjalan. Ia tak ingin menangis.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang