02

672 55 2
                                    

Langit masih menumpahkan airnya. Sepulang dari mengantar Pramote aku langsung membersihkan diri untuk menghindari demam. Shiahh! Kenapa aku terus memikirkan Pramote? Nafasnya masih tercetak jelas di ingatanku.

Aku ingin kejelasan dari Pramote. Aku tidak ingin terjebak dalam brotherszone. Kedekatanku dan Pramote saat ini masih berjudul "sahabat" dan aku ingin lebih.

Aku tidak pernah menyukai pria sebelumnya. Aku bukan orang yang seperti itu. Aku pandai bergaul dan berteman dengan siapa saja, mungkin itu sebabnya aku bisa mengambil hati Pramote yang pendiam. Awalnya aku pikir ini hanya perasaan antar teman.

Pramote berbeda dari temanku yang lain. Jika remaja seperti kami senang berpesta, justru Pramote menggunakan seluruh waktunya untuk membaca. Aku pikir dia orang yang membosankan. Bagaimana remaja sepertinya bisa bertahan hidup seperti itu?

Seiring berjalannya waktu aku mulai memahami siapa Pramote dan seperti apa dia sebenarnya. Pramote menyenangkan, pengetahuannya luas dan itu memberi dampak baik untukku. Aku mulai rajin belajar dan meninggalkan kebiasaan burukku. Pramote membuatku hidup kembali.

Aku menyukai Pramote.

***

"Ai Pramote! Apa yang kau pikirkan na?" Aku mengumpat diriku sendiri. Aku malu karena berpikir Bright akan menciumku. Apa-apaan? Itu tidak mungkin.

Aku kesal pada perasaan ini. Bright membuatku serba salah. Kadang ia bersikap seperti sahabat pada umumnya, kadang juga ia bersikap seperti aku adalah miliknya. Jika begitu, apa aku boleh mencintaimu Bright?

Aku dan Bright tidak pernah mengatakan apa yang kami rasakan. Kami hanya menyampaikan lewat perbuatan dan perhatian kecil seperti tadi. Hal seperti itu yang membuat wajahku memerah setiap melihatnya. Bright membuatku hidup kembali.

Aku menyukai Bright.

***

Pramote bangun dengan terpaksa, tubuhnya sedikit demam karena hujan kemarin. Pramote meraih ponselnya yang sedari tadi berdering. Ada empat panggilan dari orang yang sama, itu Bright.

Pramote menggulung senyumnya. Sepagi ini Bright sudah membuatnya malu. Tertulis di sana Bright mengucapakan selamat pagi untuk Pramote. Sakit di kepalanya seakan hilang begitu saja.

"Aku demam" Pramote membalas pesan Bright. Ia tidak ingin Bright khawatir tapi ia harus mengatakan kondisinya agar Bright datang kemari. Licik sekali bukan? Pramote menggunakan kelemahannya untuk mengundang Bright ke tempatnya.

Setelah pesannya terkirim, Pramote melempar ponselnya begitu saja. Pria kacamata itu mencari sesuatu di lacinya. Bright mengatakan akan datang sebentar lagi. Seperti kata Pramote, Bright menjaganya dengan baik.

Setengah jam kemudian Bright datang. Ia membawakan Pramote beberapa obat dan vitamin. Hanya demam biasa tapi Bright begitu mengkhawatirkan Pramote. Ia sedikit merasa bersalah.

"Ai Pram, khotthod na" Bright menyentuh kening Pramote untuk memeriksa suhunya.

"Jangan panggil aku Pram" Pramote menepis tangan Bright. Entah kenapa ia menjadi begitu kesal jika orang memanggilnya Pram atau Mote.

"Ai sat!" Bright menyentikkan jarinya ke dahi Pramote. Ia membuka bubur yang ia beli tadi.

"Aku tidak suka" Pramote menolak ketika Bright menuangkan buburnya ke mangkok.

"Aku melakukannya untuk diriku sendiri" jawaban Bright membuat Pramote semakin kesal padanya.

"Aku belum makan" Pria kacamata ini
mengeluh lagi.

"Mau? Bright mengangkat mangkok buburnya. Pramote menggeleng lemah. Ia sedang tidak ingin makan bubur.

"Makan dulu" Bright merebut obat dari tangan Pramote. Sementara Pramote membuat ekspresi kesal.

"Apa yang harus kumakan?" Pram bertanya dengan ketus. Alis Bright berkerut, ia berpikir untuk melakukan sesuatu agar Pramote mau makan.

Bright tersenyum licik. Sebuah ide brilian terlintas di kepalanya. Pramote menatap heran, kenapa Bright tersenyum dengan cara menyeramkan? Pasti ada yang tidak beres.

"Apa yang kau lakukan?" Pramote terkejut karena Bright mengoleskan bubur di mulutnya. Ai sat menjijikkan sekali.

"Berapa umurmu? Jangan bermain dengan makanan" Pramote hendak meraih tisu namun Bright menyekal tangannya. Ia menatap Pramote lekat-lekat, wajahnya terus mendekati Pramote.

"Dengan begini kau tidak bisa menolak untuk makan" Bright menempelkan bibirnya pada Pramote. Mata Pram membulat sempurna, Bright benar-benar menyentuh bibirnya.

(Aku bayangin ekspresi Yacht :v terus ekspresinya Topicorn yang polos. Gemess)

Sialan. Dari mana Bright dapat ide seperti ini?. Membuat lawanmu makan dengan cara yang intim. Memindahkan bubur dari bibirmu ke bibirnya. Bright, you're so fucking boy!.

Bright melepas bibirnya lalu mengusap mulut Pramote yang berantakan. Ia tidak berekspresi sama sekali. Suasana jadi hening dan masing-masing dari mereka tidak ada yang bicara apalagi bertatapan. Seperti tidak ada kehidupan.

Saat ini Pramote ingin menenggelamkan wajahnya yang panas. Ia pasti memerah, sialan Ai Bright apa yang kau lakukan pada pria kacamata ini!. Sedangkan Bright memilih fokus pada ponselnya, ia juga malu tapi ia tidak ingin terlihat seperti itu di depan Pramote. Mereka sama-sama malu.

***

"Aku pulang na" Kataku pada Pramote. Sungguh aku merasa canggung padanya.

"Hati-hati na. Hubungi aku jika sudah sampai" Pramote mengantarku sampai ke depan.

"Lekas membaik" aku mengacak rambutnya pelan untuk mengurangi kecanggunganku.

"Bright!" Aku berbalik karena Pram memanggilku. Aku pikir ia sudah masuk ke dalam.

"Khab?" Jawabku

"Khob Khun khab" Pramote mengatakannya sambil tersenyum. Damn! Itu manis sekali.
Aku mengangguk dan melambaikan tanganku. Pramote, kenapa kau begitu liar pada hatiku?

To be continue 💚💛

Aku gemes sama kapal ini walaupun scene mereka gak banyak. Dan kemarin aku minta izin sama P' Topicorn (Pramote) & P' Yacth (Bright) untuk buat fanfaction mereka. P' Topicorn balas DM ku dan dia bilang terimakasih. Tapi kalau P' Yacth, belum di balas hehe.

Oiya follow ig ku dong @Jungyaa_jum atau barangkali kalian mau berteman denganku di WA atau Fb bisa banget 💚💛

Jungyaa,
Sabtu, 26 Okt 2019

The Effect [BrightPramote] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang