Prolog

1.5K 86 2
                                    

"Semuanya, ayo kita berfoto!" Taufan berlari ke ruang tengah dimana sebagian besar penghuni rumah berada. Hanya Solar, Ice dan Gempa yang tidak ada di sana karena mereka tengah mengerjakan kegiatan mereka masing-masing.

"Ah, tapi semuanya belum lengkap." senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Taufan perlahan memudar. Namun hal itu membuat Blaze segera berdiri dengan semangat membara yang ada dalam tubuhnya.

"Tenang saja, aku akan memanggilkan Ice!" segera Blaze melangkah cepat untuk menuju kamar Ice, tempat Ice tengah mengerjakan aktivitas kesukaannya—tidur.

Melihat Blaze yang bersemangat, Thorn ikut bersemangat dan segera bangkit dari posisinya. "Kalau begitu biar aku yang memanggil Gempa!"

Kali ini tinggal Halilintar dan Taufan berdua di ruang tengah. Keduanya bertatapan, hingga akhirnya Halilintar menghela napas singkat dan menutup buku yang sebelumnya ia baca. Ia bangkit berdiri dan segera melangkahkan kaki menuju tempat Solar berada.

"Baiklah, aku akan memanggilnya," desis Halilintar.

Taufan tersenyum tipis melihat tingkah yang lain, ia duduk di sofa sambil menunggu semuanya berkumpul. Kedua tangannya menggenggam erat kamera tua yang ada di tangannya. Kemudian muncul ide di kepalanya untuk mengambil foto dirinya sendiri sebagai percobaan pertama menggunakan kamera tua yang baru ia temukan di gudang pagi ini.

Cekrek!

Kamera tersebut mencetak foto Taufan dengan sendirinya. Hasil cetakannya tidak telrihat begitu bagus, kertasnya tidak lagi memiliki kualitas yang baik begitu pula dengan tintanya. Namun setidaknya hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kenangan di antara mereka.

Tidak lama Blaze, Halilintar dan Thorn kembali dengan masing-masing satu elemental lainnya di belakang mereka. Taufan berdiri dan berjalan ke meja televisi untuk meletakan kamera tersebut dan memosisikannya agar dapat mengambil gambar dari mereka bertujuh. Ketika ia berbalik, semuanya sudah dalam posisi siap diambil gambarnya.

"Semuanya ayo tersenyum!" seruan Taufan membuat semuanya tersenyum dengan manik mereka yang menatap ke arah kamera yang sudah dipasangi timer oleh Taufan.

Cekrek!

Sekali lagi, selembar foto tercetak dari kamera tua itu. Segera Taufan mengambilnya dengan hati yang berbunga-bunga. Semuanya segera melihat hasil foto tersebut, tampak penuh kebahagiaan dan senyuman.

'Aku harap ini tidak akan berakhir.'

Setelahnya mereka kembali ke aktivitas mereka sebelum Taufan datang. Ketika Taufan sudah kembali sendiri dengan kamera serta selembar foto di tangannya, ia berjalan menuju kamarnya. Ia berencana untuk memasang foto itu di kamarnya agar ia bisa terus mengingat semua orang yang ia sayang.

Ia melempar dirinya ke kasur dengan cukup kuat, bahkan topi yang sebelumnya menempel di kepalanya lepas dan tergeletak di atas ranjangnya. Kedua tangannya mengangkat foto keluarga yang baru saja diambil, ia menatapnya dengan air mata yang terbendung di pelupuknya.

"Aku sangat menyayangi kalian." sebuah lirihan keluar dari mulut Taufan. Ia meremas foto tersebut sedikit lebih kuat ketika pandangannya mulai memudar.

"Kuharap eksistensiku tidak pernah mengganggu kalian." Pandangannya menggelap.

.

.

.

"Taufan, sudah saatnya makan malam!" Thorn mendatangi kamar Taufan untuk mengajaknya makan malam bersama dengan elemental yang lain.

Namun wajah ceria Thorn mendadak memudar ketika mendapati sosok Taufan yang tidak ada di kamarnya. Kakinya melangkah mendekati ranjang milik Taufan, tetapi di sana hanya ada sebuah topi dan selembar foto.

"Tau ... fan?" Thorn mengambil foto yang ada di ranjang tersebut. Ia segera menyadari ada tempat kosong di foto itu yang seharusnya di isi oleh kehadiran Taufan. Detak jantung Thorn semakin cepat, rasa takut menghantuinya kala ia mencoba untuk kembali menyebut namanya.

"Dimana Tau ... Ta ... " suara Thorn tercekat.

"... siapa?"

-End-

-Narake-

EksistensikuWhere stories live. Discover now