يَا لَطِيْفًا لَمْ يَزَلْ. اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا نَزَلْ اِنَّكَ لَطِيْفٌ لَمْ تَزَلْ. اُلْطُفْ بِنَا وَ الْمُسْلِمِيْنَ
Wahai yang Maha Lembut,
berlemah-lembutlah kepada kami.
Lembutkanlah hati kami semua.
Jarum jam telah menunjuk 14.00 dan Salsa belum juga tiba. Sesekali Ayas memberi minum Silky yang sudah mulai sembuh. Sedari tadi, Ayas berusaha memfokuskan pikirannya pada mushaf yang dipegang, tetapi gagal. Dari sepuluh ayat yang diulang-ulang, hanya ada tiga ayat yang berhasil ia hapal. Pikirannya selalu tertuju pada tulisan-tulisan milik Salsa. Goresan-goresan yang membuatnya sesak dan beberapa fakta yang terasa kian pahit bak menelan kapsul kehidupan tanpa batas.Bahkan hari ini, Ayas tak mengikuti satu pun ngaji kitab di masjid mau pun di kelas.
"Yas, kamu pasti kecewa, kan sama Salsa? Tapi bagaimana pun Salsa adalah teman kita. Saat nanti Salsa datang, kita bicarakan baik-baik," ucap perempuan berwajah sedikit pucat yang sedang bersandar di kasur itu.
Ayas mengangguk samar. Bila bisa dengan pelan akan ia lakukan dengan pelan, bila kemarahannya sudah sampai puncak, ia pun tak tahu harus apa.
Beberapa saat kemudian, seorang perempuan berjilbab jingga masuk sembari menarik sebuah koper hitam. Langkahnya tehenti sesaat ketika pandangannya jatuh pada Ayas dan Silky yang menatapnya bersamaan. Atmosfer di ruangan yang lumayan luas itu terasa berubah tiba-tiba. Lebih kaku dari sebelumnya.
"Salsa, aku mau ngomong sama kamu!" Ayas meletakkan mushaf di atas bantal, lalu berdiri dan melangkah menghampiri Salsa yang terdiam di depan deratan lemari kayu.
Salsa tak menjawab. Ia mematung dan tak menoleh sama sekali.
"Salsa, aku mau tahu penjelesan kertas ini!" Ayas mengangkat kertas dengan bercak darah itu ke depan wajah Salsa. Perempuan itu tampak terkejut, tetapi detik berikutnya raut wajahnya langsung kembali seperti semula. Bersikap biasa dan terlihat santai.
"Oh kamu udah tahu? Nggak usah capek-capek menjelaskan, Yas. Tulisan aku di situ udah cukup jelas. Ya, itupun kalau kamu nggak bego." Salsa membuka koper miliknya tanpa berminat menatap Ayas sedikit pun.
Perempuan itu membuka pintu lemari, lalu memasukkan baju-baju miliknya ke dalam koper yang sudah terbuka.
"Kamu mau ke mana, Sa?" tanya Silky.
"Boyong. Dari dulu aku nggak betah di sini. Terlalu ketat, nggak bebas," cakap Salsa.
"Salsa, kenapa kamu harus ngelakuin ini? Kamu tahu, bahwa aku udah nganggep kamu kayak keluarga aku sendiri," ucap Ayas.
"Omong kosong!" Salsa melempar botol pewangi pakaian ke depan Ayas.
Silky dan Ayas terlonjak saat gadis itu menatap Ayas dengan pandangan yang penuh kemarahan. Telihat ada kekecewaan yang menghantam hati Salsa saat pandangannya tertuju nyala pada gadis di depannya.
"Aku bukan siapa-siapa kamu. Jangan pernah anggep aku keluarga. Kamu kira dari awal aku sudi temenan sama kamu? Mendapatkan perhatian Gus Nabil dengan gampangnya. Bahkan, aku curiga jangan-jangan keislamanmu hanya karena Gus Nabil, kan? Kamu menghafal hanya karena dia, kan? Mau cari perhatian sampai kapan? Mau berharap sampai kapan? Mau berdoa sampai kapan biar kalian disatukan? Gus Nabil punya otak dan dia tak akan pernah memilih perempuan kayak kamu." Salsa murka.
"Begitupun kamu. Kamu kira Gus Nabil mau sama seseorang yang suka menebar kebencian? Dia yang alim itu apa mau sama perempuan kasar sepertimu?" Tiba-tiba Silky ikut berbicara. Sepertinya ia sudah tak tahan dengan perkataan Salsa pada sahabatnya.

YOU ARE READING
Filsafat Cinta [SELESAI]
Spiritual"Rumi, di manakah aku dapat melihat Tuhanmu? Di manakah Dia yang telah berhasil membuatmu lupa terhadap dunia. Dia yang kau sebut sebagai cinta, telah mengambil seluruh bahagia yang kupunya." Pertanyaan pada sufi itu, berhasil mempertemukan kedua in...