Mari, kemarilah, siapa pun engkau. Pengelana, penyembah, pecinta yang dikecewakan, tak mengapa.
Kami bukanlah kafilah yang putus asa.
Kemarilah, bahkan jika engkau telah melanggar janjimu ribuan kali.
Datang, datanglah lagi kemari.-Jalaluddin Rumi
Pagi-pagi sekali usai salat subuh berjamaah di masjid, Ayas langsung berjalan ke arah dapur dan menghampiri Umi Hanin yang sedang memasak di sana. Wanita paruh baya itu tampak sibuk dengan adonan yang tampak sedanf dituang pada cetakan kecil-kecil.
"Umi membuat apa?" tanya perempuan bergamis biru serta berjilbab segiempat itu.
Wanita itu menoleh, "Ning ... masya Allah, ini umi membuat Pie susu buat kalian. Ning tahu, Gus Nabil itu suka sekali pie susu."
"Wah, saya belum terlalu paham, Mi. Boleh saya bantu Umi?"
"Nggak perlu, Ning. Nggak perlu repot-repot, lagian sebentar lagi selesai. Kalau nggak keberatan buat nasi goreng untuk kalian saja, ya. Soalnya sekarang hari senin, santri ndalem nggak ada yang masak di sini."
Ah, ya, Nabil pernah bercerita bahwa setiap senin dan kamis santri ndalem tak ada jadwal masak di sini karena umi Hanin dan abi Ismail selalu puasa sunnah. Kalaupun umi tak puasa, ia akan memasak sendiri karena senin dan kamis memang sengaja diliburkan bagi mereka ke ndalem. Tapi tetap saja mereka akan ke sini untuk sekadar piket.
"Baik, Mi." Ayas tersenyum. Perempuan itu mulai menyiapkan peralatan untuk memasak. Jujur, Umi Hanin sangat baik padanya. Begitupun Abi Ismail. Dari sosok mereka berdua, Ayas seperti kembali mendapat sosok orang tua. Orang tua yang perhatian padanya.
Nabil baru akan kembali ke rumah pukul enam nanti, karena laki-laki itu sedang menggantikan ustaz Saleh mengajar Imrithi di kelas wustha. Setiap hari Ayas pun selalu membuatkan kopi hitam untuknya dan hari ini barangkali terakhir sebelum Nabil kembali ke Mesir sore nanti.
🍬🍬
Setelah menaruh sepiring nasi goreng dan secangkir kopi serta susu segar di atas nakas, perempuan itu mulai melangkah ke lemari Nabil tuk mengambil beberapa pakaian milik suaminya yang akan dimasukkan ke ransel.
Sungguh, saat baru pertama ke sini Ayas terkejut melihat kamar Nabil yang rapi dan bersih. Bahkan tumpukkan baju di dalam lemari kayu cokelat berpintu tiga itu memiliki lipatan yang sama dan tak sedikit pun berantakan.
Rak buku berisi berjilid-jilid kitab dan buku-buku Filsafat berdiri kokoh di salah satu sudut kamar yang luas itu. Beberapa poster Chelsea tertempel di tembok. Dalam kamar yang didominasi warna biru itu ada satu gambar yang membuat Ayas terpesona. Di salah satu tembok dekat ranjang, terdapat lukisan Jalaluddin Rumi dengan tulisan di bawahnya 30 September 1207 M - Abadi.
Dia mengambil beberapa setel pakaian suaminya dengan hati-hati, lalu dimasukan ke ransel. Kini, wajahnya terlihat muram saat mengingat kenyataan bahwa ia harus kembali berpisah dengan Nabil. Rasanya baru beberapa hari menghabiskan waktu berdua, tetapi dia harus kembali pergi ke negeri para Nabi untuk menuntaskan perjalanannya.
Pintu kamar berderit, menampilkan laki-laki berkoko biru serta bersarung putih dengan sajadah yang masih tersampir di bahu kiri.
Ayas menoleh, lalu mendekat. "Gus udah pulang? Aku sudah siapkan kopi." Dia mencium pucuk tangan Nabil. Diraihnya sajadah laki-laki itu lalu dilipat dan ditaruh di sofa.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Nabil sembari melepas peci dan ditaruhnya di sofa.
"Beresin baju Gus," sahut Ayas. Dia menutup resleting ransel setelah menyelesaikan tugasnya. Barang-barang itu akan dibawa Nabil pergi nanti sore.

YOU ARE READING
Filsafat Cinta [SELESAI]
Spiritual"Rumi, di manakah aku dapat melihat Tuhanmu? Di manakah Dia yang telah berhasil membuatmu lupa terhadap dunia. Dia yang kau sebut sebagai cinta, telah mengambil seluruh bahagia yang kupunya." Pertanyaan pada sufi itu, berhasil mempertemukan kedua in...