27 | Rasa yang terungkap

910 105 22
                                    

Sepi menyambut Zia saat baru saja melewati pagar sekolah. Seperti waktu itu, ia memilih datang ke sekolah lebih cepat agar dapat menghapal pelajaran di sekolah dan agar tidak mudah melupakannya untuk melakukan remedial dengan baik. Bukannya tidak ingin belajar di rumah, tetapi ia tidak ingin bertambah pusing karena harus memikirkan siapa pengirim surat-surat itu yang sebenarnya.

Ia sudah mencoba mencari tahu siapa si pengirim surat itu semalam, tetapi ia sekali tidak menemukan apa pun. Apalagi di atas kertas hanya berisi deretan tulisan yang mengatakan tentang kematiannya, tanpa ada tanda yang dapat dijadikan pentunjuk. Ia sudah lelah dan berniat untuk tidak memedulikan surat itu. Ia juga tidak akan peduli dengan apa yang akan terjadi padanya nanti.

Langkah Zia terhenti saat tiba di ambang pintu. Bukan hanya di meja yang ditempati, tetapi terdapat sebuah tulisan di papan tulis yang membuatnya kembali mengernyit.

KAMU AKAN MATI!!!

Jika biasanya tulisan-tulisan itu diberikan tanpa sebuah tanda seikitpun, tetapi berbeda dengan kali ini. Sang pengirim memberikan dua huruf di bawah tulisan tersebut yang menurut Zia adalah inisial namanya.

#AS

*****


Nyaris lima hari yang Zia lalui hanya berisi dengan kegiatan belajar untuk melaksanakan remedialnya. Tak disangka hari berlalu begitu cepat, sampai pada hari di mana ia harus bertarung dengan soal-soal yang akan membuat otaknya pusing dua kali lipat.

Remedial dilaksanakan tepat lima belas menit setelah jam pulang berbunyi. Namun, sebelum berlari menuju ruangan yang sudah ditentukan, Zia lebih dulu menghapal berbagai rumus Fisika yang belum sempat dihapal saat belajar bersama Danu semalam.

Danu melirik jam di dinding kelas, kemudian berujar, "Zi, mending lo masuk ruangan, deh. Lo tau kalo Bu Rumi paling enggak suka sama murid yang telat, 'kan?"

"Tapi, Zia belum hapal!" bantah Zia.

"Udah tau susah menghapal, terus kenapa pilih pergi sama Juna semalam?"

Zia melirik Danu dengan malas. Jika sudah mengungkit suatu kejadian, berarti akan melebar ke mana-mana. Jadi, lebih baik gadis itu menurut daripada harus mendengar ocehan Danu.

"Iya, iya."

Tangan Zia bergerak untum memasukkan buku-buku tersebut ke dalam tas, kemudian berjalan cepat ke luar kelas. Ia memegang buku cacatan Fisika demi menghapal rumus. Sebelum tiba di ruangan, ia harus berdecak berkali-kali saat rumus itu tidak juga menempel di otaknya. Ia juga berulang kali mengeluh karena memiliki otak yang di bawah rata-rata seperti ini.

Puluhan langkah berlalu dan tak ada satu pun suara yang yang tidak menggema di koridor saat menghapal. Namun, seketika ia berhenti tatkala teringat akan diary-nya yang tertinggal di laci kelas. Bukan karena takut kehilangan diary itu, tetapi ia memikirkan jika di sana berisi segala perasaannya pada Danu, dan cowok itu masih berada di sana.

Ia berlari sekencang yang bisa dilakukan karena ia harus mengambil diary itu sebelum Danu membaca segala tulisannya. Di dalam hati, ia berdoa agar Danu sudah meninggalkan kelas dan tidak menemukan benda itu.

Banyak hal yang akan berubah setelah Danu mengetahui perasaan Zia, termasuk persahabatan mereka. Maka dari itu, Zia menyembunyikan perasaannya selama bertahun-tahun.

Saat tiba di kelas, Zia bernapas lega karena kelas sudah kosong dan diary tersebut masih berada di tempat semula. Ia terduduk dengan tangan yang memeluk buku itu dan mengatur napas setelah berlari. Rasa syukur tidak henti-hentianya ia rapalkan dalam hati.

"Gue udah baca isinya." Suara yang berasal dari depan kelas itu membuat jantung Zia berdegup hebat. "Lihat gue, Zi!" panggil Danu saat gadis itu belum juga mendongak.

Zia (PRE ORDER)Where stories live. Discover now