Chapter Three

65 29 9
                                    

Aku bergelimpangan di kasur dengan mata terpejam, namun tak kunjung terlelap. Ada perasaan bersalah yang membuat pikiranku tak tenang. Pewangi violet yang menempel di sarung bantal meningkatkan ketajaman indera penciuman. Aroma kesukaan Klara. Sarung bantal dan seprai ini baru digantinya kemarin. Ia tak akan peduli kalau aku tak suka wangi bunga.

Mengingat Klara yang diangkut ke kantor polisi bersama Verial pula, membuatku ingin mengumpat pada petugas itu. Mereka benar-benar menahan siswa yang lain untuk tidak mengganggu penyelidikan. Aku digiring pulang sesaat setelah Renai dimakamkan.

Ada yang menggangguku sebenarnya saat pemakaman Renai berlangsung. Ini gara-gara ucapan Verial, aku menjadi lebih waspada. Was-was mengamati teman-teman yang hadir di pemakaman. Seseorang melihat pemakaman di balik pohon yang berjarak tiga puluh meter dari tempatku berdiri. Aku cukup yakin kalau dia bukan siswa SMA Angkasa, karena tidak memakai seragam, tapi tak cukup tahu dengan tujuannya menjauhkan diri. Meskipun begitu, kupikir dia hanyalah orang yang kebetulan lewat atau salah satu penggemar Renai yang takut ketahuan.

Yang lebih mengganggu pikiranku yaitu pemanggilan Verial. Aku tidak begitu terkejut jika Klara dipanggil sebagai pemberi informasi, karena dia sempat bertemu Renai sore harinya, tapi Verial berbeda. Seingatku Verial tidak pernah berbincang dengan Renai. Aku tak habis pikir hubungan lelaki yang sepuluh tahun kukenal itu dengan kematian Renai. Verial memang populer, Renai pun demikian, pikiranku malah mengalir ke hal-hal yang tidak-tidak. Aku tak akan memaafkannya jika menyembunyikan fakta bahwa dia menjalin cinta dengan Renai. Haruskah perasaan itu ditutupi dariku? Tak mungkin.

Aku membuka mata, memutuskan untuk tidak memaksakan diri terlelap. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Rumah yang sepi, tanpa kehadiran Klara rumah ini seperti mati. Kududukkan badan tepat mengarah jendela. Angkasa menorehkan bentuk-bentuk tak kasat mata dari gemerlapnya gemintang, rembulan hanya membentuk setengah lingkaran, tak begitu indah tapi cukup menjadi latar sampingan, di ujung jalan, dedaunan melambai pelan terkibas angin malam.

Lalu bunyi rem mobil terdengar dari depan gerbang. Mataku mengintip, tampak Klara keluar. Ia membungkukkan badan sebelum mobil itu melaju kembali.

Aku berlari, segera membukakan pintu. Klara tampak lesu dengan pakaian seragamnya yang tak wangi. Biasanya ia tak lupa membawa parfum beraroma violet. Mungkin kantor polisi membuatnya malas memerhatikan penampilan lagi.

"Sudah makan?"

Klara memicingkan mata, tentu saja takkan menyangka kalimat basa-basi yang pertama keluar dari mulutku. Aku meringis. Perutku ikut terkejut dengan mengeluarkan bunyi-bunyi geledek protes. Keasyikan bermain dengan pikiran, aku kelupaan belum mengisinya dengan makanan.

Klara duduk di sofa, meletakkan tas ransel di meja. Ia masih memicingkan mata padaku. Aku tidak mengerti, sungguh.

Mulut Klara merengut. Tangannya menunjuk perut berulang kali.

"Oh ya, pesan makan," ujarku sembari mencari ponsel, segera memesan makanan apa pun yang bisa diantarkan malam ini. Perempuan memang makhluk yang mengharuskan untuk selalu dimengerti.

Usai memesan dua bungkus nasi dari aplikasi pengantar makanan, langkahku perlahan menuju sofa, duduk di hadapan Klara. Perempuan itu masih manyun.

"Bagaimana di sana?"

Mata Klara melirik sekilas. Tubuhnya yang menghadap samping mulai ditegakkan menghadapku.

Red OrchidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang