Ni

442 47 5
                                    

Sudah satu bulan sejak kejadian aku melihatnya di halte bis. Selama dua bulan ini pikiranku terpenuhi olehnya. Dan selama dua bulan ini, aku bukan lagi diriku yang dulu.

Selama dua bulan lebih aku tidak pernah melihatnya di siang ataupun pagi hari.

Dia akan datang di taman bermain pukul 4 sore, dan akan pergi dari taman pukul 5 sore.

Dia akan datang ke halte jam 10 malam, dan pergi jam 00.30 pagi.

Aku tidak pernah melihatnya berinteraksi, kecuali dengan anak-anak di taman.

Di taman dia selalu tersenyum dan tertawa. Tapi di halte bis sebaliknya.

Ini aneh. Dia seperti memiliki kepribadian ganda.

Sejak pertama melihatnya di taman, kuakui matanya sangat indah. Menyimpan kilauan tersendiri bagi sipemiliknya. Tawanya mengundang anak-anak yang ada di sekitarnya untuk tertawa. Senyumnya menenangkan.

Tapi melihatnya di halte bis, itu semua berbanding terbalik. Wajahnya murung. Matanya menyimpan luka yang dalam. Bibirnya tidak membentuk senyuman melainkan garis lurus. Tidak ada tawa atau kesenangan lainnya.

Dia selalu ada didalam pikiranku. Aku bukan seseorang yang terlalu banyak memikirkan sesuatu, tapi dia berbeda.

Entahlah, aku tidak biasanya memperhatikan orang asing secara intens, tapi sekali lagi kutegaskan dia berbeda dan aneh.

.

"Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa akhir-akhir ini kau tidak fokus bekerja dan terus melamun."

"Hanya perasaanmu."

"Hanya perasaanku? Kau berubah."

"Apa yang berubah dariku?"

"Kau bertanya? Aish, sepertinya kepalamu terbentur sesuatu."

"Sudahlah aku sibuk, kembalilah ke tempatmu."

"Sibuk apa? Sibuk melamun? Iyakan."

"Aku tidak melamun."

"Lalu kalau bukan duduk diam, mata sering mengerjab, kepala geleng-geleng, apa namanya kalau bukan melamun?" Sambil memperaktekan apa yang dia ucapkan.

"Aku tidak melamun. Hanya sedang berpikir." Tidak ada pilihan selain menjawab pertanyaan.

"Berpikir apa? Kau berpikir cara membayar cicilan apartemen? Bahkan kau bisa membeli 5 apartemen dengan fasilitas mewah sekaligus dalam sebulan kalau kau mau. Biaya ibumu? Ibumu bahkan tidak pernah meminta sepeser pun uang darimu semenjak kau bekerja, karna apa? Karna dia mampu mencukupi dirinya sendiri. Ayolah, kau tidak mungkin memikirkan hal-hal yang bodoh, kecuali..." dia menggantungkan kata-katanya. Aku mengangkat bahu. Kepalaku mau pecah rasanya jika mendengar suaranya yang terus berbicara tanpa henti.

"Kau memikirkan dia."

Uhuk. Uhuk. Uhuk. Sial, apa dia tau?. "Ahh. Aku benarkan."

"Apa maksudmu."

"Tidak usah berpura-pura, aku yakin kau mendenger dengan jelas."

Tarik nafas. Hembuskan. Tarik nafas. Hembuskan. Cara ini Kulakukan berulang kali suapaya pikiranku kembali jernih.

Aku menyesal menjawab pertanyaan. Huh, seharusnya aku tau, dia tidak akan berhenti bertanya sebelum rasa ingin tahunya terpenuhi.

"Terserah. Jika tidak ada lagi pertanyaan tidak pentingmu, pergilah. Kau mengganggu."

"Hei hei hei. Santai saja. Aku kan hanya bertanya. Sebagai teman yang... iya iya aku pergi" Katanya sambil kembali ke mejanya.

"Huh menyebalkan."

.

.

.

Tbc.

This Is Fate (✔)Where stories live. Discover now