love reflecting in your eyes

11.5K 1.4K 83
                                    

Jeongguk kentara gugup.

Dalam span waktu terakhir, dia sudah tanya Taehyung berkali-kali: "Nggak apa saya tentukan tempat?" Atau "Kamu suka masakan Timur Tengah?" Sampai "Tolong bilang kalau kurang cocok, kita mampir yang siap saji sebelum pulang."

Sementara Taehyung, usaha kuat tahan senyum di kursi penumpang. Mungkin Jeongguk belum pernah mengajak seseorang kencan? Kalau dilihat dari bagaimana ia membukakan pintu, bertanya apakah seatbelt sudah dipasang, dan lain-lain; mungkin lelaki itu baru belajar dari internet sebelum siap-siap.

Tapi toh, tidak penting.

Taehyung masih kepalang senang. Histori chat dengan Jimin waktu siap-siap barusan penuh emoji dan tanda eksklamasi.

Pada akhirnya, Jeongguk pinggirkan mobil di depan sebuah hotel mewah. Taehyung hampir copot jantung. Bukannya—

"Saya bingung ajak kamu ke mana." Jeongguk bisik pelan; sebelah wajah tertutup bayang dasbor mobil. "Di sini makanannya banyak; ada bento, korean food, western juga ada. Kalau masih kurang, nanti waktu pulang kita drive thru saja."

Pantas, Jeongguk hafal. Ini salah satu aset hotel keluarganya; Taehyung tambah dibuat geli. Tidak sopan kalau terbahak, jadi dia cuma lempar senyum kecil. "Nggak apa-apa, mas. Ayo?"

Angguk kepala, Jeongguk tarik kunci mobil dan jalan cepat ke arah pintu penumpang. Seperti yang dia lakukan saat mau berangkat, gerakannya luwes bukakan pintu dan beri jalan. Media tak bohong. Pewaris keluarga Jeon memang terbaik dalam banyak hal.

Taehyung tak heran sewaktu mereka berdua menapak di lobi, ada sejenak seluruh pegawai berhenti beraktivitas dan memberi salam hormat yang singkat. Salah satunya, yang pakai pakaian paling rapi di resepsionis, jalan cepat menghampiri.

Jeongguk berucap pelan; disambut angguk mengerti si orang resepsionis. Mereka mengekor di belakang, diantar hingga ke mulut restoran yang malam itu khusus memainkan live music tahun 90an. Lagu barat, Taehyung hafal satu yang sedang dimainkan.

"Kamu suka lagunya?"

Jeongguk ambil tempat agak ke belakang, mendekati kaca raksasa yang beri pemandangan kota kala malam. Restorannya memang tidak berada di lantai terlalu tinggi—itu rencana Jeongguk ke depan untuk buat satu lagi di rooftop; katanya.

"Iya. Bunda dan Ayah sering nyanyi lagu ini dari aku kecil," sambar Taehyung, senyumnya lebar. Sungguh, dia senang. "Mas Jeongguk mau pesan apa?" Lirik buku menu di hadapan pasangannya yang belum disentuh.

Yang ditanya hanya geleng kepala. "Pesankan sama seperti kamu," jawabnya singkat.

Ketika buku menu diambil dan pelayan mereka malam itu mencatat pesanan, suasana hening lagi. Tidak kikuk, nyaman malah. Taehyung masih buka rungu lebar-lebar; lagu Celine Dion yang sekarang diputar. It's All Coming Back to Me Now.

Dan; satu yang menjadi perhatian pentingnya. Jeongguk sama sekali belum mengeluarkan ponsel, maupun menyibukkan diri sendiri. Lelaki itu sungguh duduk di sana, fokuskan atensi entah pada apa; namun Taehyung sungguh nyaman dibuatnya. Dia bahkan sempat tangkap Jeongguk non-aktifkan telepon selepas make sure tidak ada pesan yang harus dibaca.

Tipikal orang yang sangat Taehyung kagumi. Tidak ke mana-mana bergantung alat komunikasi. Ayah dan Bunda ajarkan demikian. Apa artinya komunikasi dunia maya kalau kamu punya teman untuk diajak bicara.

"Dan aku baru tahu kalau Mama ternyata beli karya aku yang tadinya nggak rencana aku jual." Taehyung cerita dengan kalimat ekstatik, di tengah keseriusannya memotong daging steak. "Aku nggak tahu siapa beliau, awalnya, karena aku tetap ngotot nggak bisa dijual."

Jeongguk—yang ternyata tidak permasalahkan mengobrol sambil makan, ikut menyetop aktivitasnya. "Lalu? Gimana caranya Mama bisa beli?"

"Gara-gara bang Yoongi injak-injak kaki aku." Taehyung berucap polos; buat Jeongguk melebarkan onyx.

"Kenap—"

"Bang Yoongi sadar duluan, kalau Mama nggak mungkin pembeli gadungan. Karena aku pernah kena tipu sebelumnya," lanjut Taehyung lagi; tandaskan habis air minumnya. "Waktu itu showcase pertama, sih, jadi begitu ada yang tertarik, aku langsung setuju."

Wajah Jeongguk perlihatkan ekspresi maklum, hela napas terdengar. Dia lantas habiskan juga minumnya lalu kembali pada pembicaraan.

"Dan dari situ, Mama sering datang ke showcase?"

Anggukan semangat. "Iya! Bahkan Mama pernah janji mau jadi sponsor utama; dan ... showcase-nya diadakan di sini."

Ujung jari telunjuk Jeongguk terarah ke tanah; sembari melempar pertanyaan bisu: di sini? yang dijawab anggukan lain oleh Taehyung. Setelahnya, pasangannya tersenyum kecil, menarik serbet yang sebelumnya ia hamparkan di pangkuan. Lipatan ala kadarnya Jeongguk tempatkan di sebelah piring; lalu raih gelas wine.

"Kamu sudah putuskan gimana dekor ruangan baru kamu?" Jeongguk tanya, mengaitkan dengan ruang kosong yang hari ini baru saja dimiliki Taehyung.

Yang ditanya mengamini. "Mama bilang gedung tempat studioku sekarang mau direnovasi. Mungkin ada beberapa peralatan yang bakal kupindah sementara."

"Oh." Jeongguk mengerti. "Bilang sama saya kalau kamu sudah siap adakan showcase lagi," katanya. "Kita cari venue yang lebih besar dan lebih dikenal orang."

Taehyung tidak tahu sampai kapan keberuntungannya bertahan, namun sekarang—sekarang—ia amat berterima kasih. Mungkin bagi banyak orang, memang sudah kewajiban tiap pasangan untuk saling memberi support. Tapi, pengecualian untuk Taehyung; karena sejak awal pun cerita mereka sudah berbeda.

Lepas senyum paling bahagia, Taehyung menganggukkan kepala.

"Makasih, mas Jeongguk."

[✓]  11:11 • KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang