(n.) s e l e m b a r s a j a

1.9K 186 98
                                    

Rabu. Petang yang jingga.

Tidak ada yang pernah mampu menggambarkan bagaimana harapan itu hanya sebuah fragmen-fragmen mentah yang bermain-main di kepala. Ketika seonggok atma menitih untuk buat jarak semakin parak, menerbangkan segala debu-debu kotor yang melaut berombak, bumantara bergulung cuma sebatas analogi, dan mereka para kawula memeras doa demi miliki udara walau cuma satu kelopak mata.

Tidak ada yang pernah mampu mengusut apa itu makna dari lalu yang tetap berdiri memimpin. Semua terasa tiada guna. Manalagi kalau-kalau dirimu buat berjuta-juta angan lalu kau bungkus barangkali dengan kotak benang jahit ibumu. Kemudian jangan lupakan bagaimana sekarang, manusia yang bertahta milenial, yang memahkotai fatamorgana mereka sendiri, yang tak hirau akan hidup di atas tapak layar setengah mati. Pada realitasnya mereka pun sama tak tahunya apa itu titik makna dari sisa. Satu kata saja, sisa.

Kalian yang sekarang sedang membuka mata, aku Langit. Namaku adalah Langit. Tidak perlu punya nama panjang, karena aku pun tak akan pernah punya ijazah. Tidak perlu, kenapa? Untuk apa? Tuhan tidak mungkin meminta ijazah sebagai syarat masuk surga, ataupun menyuruhku membayarnya dengan lima keping perak. Dia tidak mencari orang berkulit emas, tidak pula yang memiliki IQ di atas seribu. Tetapi apa memang seperti itu ada? Barangkali iya, otaknya sudah kelebihan di wadah kepala, tumpah-tumpah serupa susu pisang tetangga.

Jingga ini, dengan banyak gumul kapas di atas kepala, sekalian artifisial salmon yang direpresentasikan, aku akan menaburi kalian sebuah hamparan narasi, meruapkan perihal secuil makna. Narasi yang cuma terbit lantaran aku mulai merasakan manisnya nasi, gemburnya kapuk, dan selesanya kehidupan selama ini. Tetapi kau bisa atau benar-benar punya hak untuk meninggalkanku sampai di sini saja, melesapkan kembali limpitan kata yang sudah kau masukkan kepala, tidak apa-apa, aku tidak masalah, sebab mungkin narasi ini akan punya hadiah yang agak jemu.

Dulu, sewaktu aku duduk cuma buat melihat bagaskara melorot pada lekukan Bumi, sewaktu laut diam tak ingin mengecap kata sama sekali, sewaktu jingga menari-nari di atas sana bersama magenta yang merintih, seseorang datang padaku, duduk di sampingku, dan memberitahuku sesuatu. "Ngit, saat kau balita dulu kau punya sepasang gigi kelinci di depan. Suka sekali kau pamerkan padaku cuma buatku tersenyum, memohon buat digendong, lalu kau menciumku tiada ampun."

"Lalu?" Aku menyahut meminta lebih, merasa tertarik.

"Langit yang Biru kenal tidak pernah menangis, Langit itu pemberani, Langit adalah penikmat laut yang tampan, terlampau tampan sampai gadis-gadis sekarang ini mengira dirimu titisan dari Apollo, dan Langit itu milik Biru, adik Biru yang terbaik."

Selalu seperti itu. Biru tidak pernah membuatku merasa menjadi seseorang yang tidak berguna. Tidak pernah mendasarkan sesuatu karena aku anak pungutan. Biru adalah laut bagiku, yang menatap langit, dan yang menjingga karena langit. Karena pada realitasnya, aku tak punya ibu, tidak juga dengan ayah. Aku hanya anak yang dipungut oleh ayah Biru, lalu diasuhnya. Aku tidak tahu seperti apa aku ketika diambilnya? Mengapa aku terlantar? Hanya saja Biru pernah berkata padaku kalau aku ditemukan di tubir laut, dengan selimut buih ombaknya, dan dia juga menambahkan, "Aku percaya, kau datang untuk kami dari langit."

Aku yang berumur sepuluh tahun, ketika kalimat itu diudarakan membentur daun telinga, bertanya kelewat lugu, "Mengapa seperti itu?"

Biru tersenyum, penuh gemetar tatkala afeksinya terlempar padaku, sudah terlalu dewasa untuknya yang masih tujuh belas tahun. Iya, umur kami jauh terbentang selayaknya langit dan laut, namun benakku masih terus saja mengepal bahwa kami sama-sama biru. Jemarinya mengacak rambutku, memelodi sederhana dengan kata. "Karena kau indah, dan barangkali istimewa."

Narasi ini barangkali bukan hanya tentangku, tetapi tentang Biru juga. Karena tanpa Biru, Langit tidak ada.

Malam itu, dengan primanoda kuning yang berberai, mengetuk satu-satu renjana pada tiap khalayak, cuma dengan lentera redup kami makan bersama di teras rumah, dengan anak-anak asuh yang lain. Namun, sampai pada suap keempat, ayah Biru memanggilku, "Langit, sehabis makan ajak adik-adikmu untuk ambil beberapa di empat rumah. Cobalah untuk bawa pulang benda yang lebih mahal! Petinggi desa sebelah baru pergi ke luar kota, jangan sia-siakan kesempatan itu!"

akara yang menjinggaWhere stories live. Discover now