ONE

170 11 0
                                    


Sarapan terdiri atas kentang persegi panjang seperti balok, telur rebus yang terbelah jadi dua sisi, bersama salad sayur yang porsinya lebih banyak dari dua jenis makanan lainnya. Cangkir tak jauh di dekat baki berkotak-kotak itu berisi air putih yang terisi penuh.

Pada akhir giliran tugas tiga tahunan, Kim Doyoung sulit menghargai sarapan pagi. Untung baginya, jika hari ini adalah hari terakhir tugas. Rasanya tak ada bedanya dengan hari-hari lain yang menjemukan, tetapi tegang karena dengung konstan dan mengerikan dari ancaman yang mendekat.

Ketika walkie-talkie yang di jepitkan ke sakunya berbunyi, ia menyingkirkan makanan yang sudah berantakan tanpa memperhatikan baki kotak yang baru berkurang setengahnya. Panggilan itu tanda bagi awak yang bertugas untuk meninggalkan semuanya, termasuk sarapan.

Unit-unit evakuasi medis bangga atas waktu reaksi mereka. Baik laki-laki maupun perempuan langsung bertindak. Meninggalkan semua yang sedang mereka lakukan.

"Ayo, hurricane," kata Hangeng, ketua awak unit.

Sesuai kebiasaan rumit tentara, Doyoung diberi julukan hurricane. Awalnya, saat beberapa anggota pleton tau sedikit tentang tattoo pusaran angin yang berada di punggung sayap kirinya. Sifatnya yang tegas, kaku, dan dingin tak luput mendasari mereka memberikan julukan itu. Meski beberapa anggota pleton mengagumi Doyoung karena selalu membela yang benar dan tertindas, tapi ada beberapa yang membenci karena dianggap pahlawan kesiangan.

"Aku yang bertugas," kata Doyoung sambil melangkah menuju helipad. Dia dan Henry akan menerbangkan pesawat itu hari ini.

"Bangsat! Apa lagi yang kau tunggu?" desak Doyoung, melangkah melewati Victoria, awak medis terlatih yang baru diterjunkan ke medan perang. "Segera ke tempat pendaratan!"

Perempuan China itu terpaku, mukanya pucat seperti marah. Ia tak beranjak, tapi mengikuti Doyoung.

"Sir. Aku tidak suka umpatan itu."

Doyoung tertawa singkat. "Kau akan terbang ke wilayah tempur dan mencemaskan umpatan? Tentara bisa mengumpat. Biasakan dirimu."

Victoria seperti akan menangis.

"Ayo segera pergi!" ucap Doyoung lalu beranjak tanpa menoleh.

Ketua awak darat meneriakkan daftar periksa. Semua orang naik ke pesawat. Baju baja dan helm dipakai di atas pesawat untuk mempersingkat waktu.

Doyoung menerima rincian tugasnya melalui earphone sambil memeriksa beberapa strategi pribadinya. Panggilan ini jenis yang paling mereka takuti –korban berasal dari tentara dan warga sipil. Helicopter Apache bersenjata akan mengawal pesawat-pesawat medis, karena lambang palang merah pada wajah dan setiap pintu kargo pesawat tidak akan ada artinya bagi musuh.

.

.

.

.

Dalam waktu beberapa menit, mereka terbang ke utara melintasi pegunungan penuh di Provinsi perbatasan. Terbang dengan kecepatan tinggi melewati daratan yang dipenuhi puncak-puncak curam, hutan belantara, serta sungai-sungai dalam. Doyoung merasa tegang dan gelisah. Hiruk pikuk yang berasal dari percakapan melalui headset memenuhi ruang helicopter.

Ini misi Doyoung yang terakhir, jangan kacaukan.

Jantung Doyoung sudah hafal selang waktu antara melihat kilatan dan munculnya tembakan –satu, dua, tiga detik dan pasti ada yang meledak.

Doyoung dan Henry, pilot satunya, berkonsentrasi untuk memperpendek jarak antara heli dengan tempat panggilan. Helicopter mendekati titik penjemputan dan turun. Puncak-puncak pohon bergoyang maju mundur dihantam angin di bawah rotor utama. Doyoung melihat orang-orang sipil dan tentara berlarian, sebagian menyebar mencari musuh, dan sebagian lagi menjaga orang-orang yang terluka sambil menunggu datangnya bantuan.

UNLUCKY MEWhere stories live. Discover now