duapuluh satu

589 72 27
                                    

Hembusan angin sore dan langit yang berwarna jingga ke merahan menemani lelaki dengan segala pemikiran yang memenuhi isi kepalanya saat ini. Jam sudah hampir menunjukkan pukul enam sore, namun ia enggan meninggalkan tempat itu. Batu-batu yang ia lemparkan ke danau pun sedari tadi sudah tak terhitung jumlahnya.

Ia merogoh kantung jaketnya dan mengeluarkan boneka rajut berukuran kecil yang diberikan oleh gadis itu. Sekarang ia punya pertanyaan kecil yang menyala di dalam kepalanya. Apakah dirinya terlalu berlebihan?

Salahkah dirinya bila berpikir tak pantas bersanding dengan gadis itu? Ia hanya seorang lelaki nakal dan tak tahu diri ingin bersanding dengan gadis itu. Ia menarik dirinya sedikit mundur untuk bersandar di pohon.

Reynand memejamkan matanya sejenak lalu menghela napas panjang. Ia meletakkan boneka rajut direrumputan sejenak. Lalu ia merogoh kantungnya lagi untuk mengambil bungkus rokok dan pematiknya.

Dengan mata terpejam, Ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan sibuk dengan isi kepalanya saat ini. Membiarkan angin sore itu membuat negoisasi kecil dengan isi kepalanya. Satu batang rokok masih terasa kurang, ia membuka mata dan hendak menyalakan batang kedua. Namun saat menoleh kesamping, dirinya dibuat terkejut.

"Jangan gerak, Rey!!!" Perintah itu membuat dirinya mematung sejenak. Tetapi semenit kemudian, tangannya bergerak lagi untuk menyalakan batang kedua.

Desisan pelan terdengar kecil dari bibir mungil itu. "Dibilang jangan bergerak. Susah banget sih?" Ucapnya lagi.

Ia tak menggubris ucapan tadi, lalu kembali memejamkan mata dan menghisap rokoknya yang telah menyala. Semakin sunyi, hanya napas pelan yang kabur tertiup angin sore itu. Tak ada percakapan, tak ada sepatah katapun yang didengarnya lagi. Apakah dirinya sudah pergi?

"Asik selesai," ucapan itu tentu menjadi jawaban pertanyaannya barusan. Ia membuka matanya sedikit. Melirik kecil gadis itu.

Gisca hendak mengambil rokok Reynand yang sedang menyala baranya. "Udahan ngeroko—" ucapan gadis itu langsung terpotong saat Reynand menjauhkan rokoknya.

"Awas nanti tangan lo kena baranya!" Ucap Reynand reflek membuat Gisca menarik tubuhnya kembali. "Lo ngapain disini?" Tanya Reynand sambil mematikan rokoknya.

Kepala Gisca beralih menatap ke danau. "Nyari apa yang bisa dicari."

Reynand mengernyit bingung. Jawaban macam apa itu? Otaknya tak bisa memproses jawaban gadis itu. "Ha? Apaan sih?"

"Lo contohnya," lanjut Gisca membuat Reynand memandang dirinya yang sedang sibuk menatap danau.

"Gue?"

Gisca mengangguk dan menoleh ke Reynand. "Salah emang?"

Reyanan menggeleng lalu berdeham sejenak. Apa-apaan ini, mengapa rasanya sangat canggung sekali. Stupid Reynand! "Tadi lo ngapain?"

"Kan udah dibilang, nyari apa yang bisa dicari. Nanya mulu lo ya kayak pembantu baru," ucap Gisca membuat Reynand menyentil pelan kening gadis itu. "Aw! Ga sopan nyentil jidat orang," protes Gisca membuat Reynand menegakkan duduknya.

"Sakit emang?"

"Enggak. Ya sakit lah!"

"Coba lihat," Reynand memutar tubuhnya kearah Gisca.

"Nih, merah pasti. Gue visum ah nant— REY IHHH!!!" Omelan Gisca langsung berubah menjadi rengekan.

Reynand terkekeh geli melihat respon gadis itu. Siapa suruh banyak omong? Kena cium kan itu kening jadinya. "Udah. Sekarang sembuh pasti," ucap Reynand membuat bibir Gisca maju.

"Apa nih? Minta dicium juga?" Reynand menunjuk bibir Gisca yang maju barusan.

Mata Gisca terbelalak kaget lalu langsung reflek menutup bibirnya. Ia menggeser duduknya, menjauhi Reynand yang masih asik tertawa melihat dirinya.

RAGINANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang