P R O L O G

154 11 3
                                    

Oktober tahun ini panas. Lebih panas beberapa derajat dari tahun lalu. Kemarau datang tanpa undangan di beberapa daerah Indonesia, memberi siksaan tambahan seolah-olah panas saja tidak cukup membuat kami menderita. Tapi aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bukankah alam ini rusak karena manusianya sendiri? Untuk apa mengeluh?

Kemarau. Hujan jarang. Kekeringan.

Aku mendesah. Lagi. Entah keberapa kali. Air di kostku mati. Bak mandi karet hitamku kosong melompong. Sejatinya kemarau memang lebih menyiksa bagi kami-kami yang hanya memanfaatkan air sumur, bukan PDAM. Padahal hadanku rasanya lengket sekali. Kipas angin kecil yang kubawa dari kampung ke kostku, tadi malam error. Tiba-tiba baling-balingnya tidak mau berputar. Sudah aku coba utak-atik, namun sepertinya bukan makin baik, kipas anginku makin rusak. Yeah, aku tahu karena sebelumnya walaupun baling-balingnya tidak mau berputar, leher kipas angin itu masih mau berputar, tapi setelah aku utak-atik, tidak ada dari keduanya yang mau berputar. Dan aku menyerah untuk sok tahu tentang mekanik seperi itu.

Untuk tadi malam aku baik-baik saja. Angin malam benar-benar membantu, jadi walaupun kipas anginku rusak, aku tidak terlalu merasa kepanasan. Sekarang, siang ini yang tidak baik-baik saja. Kamar kostku rasa-rasanya seperti neraka. Memanggangku tanpa ampun sebagai pendosa. Buku kuliahku sudah aku korbankan untuk menjadi kipas angin manual, tapi tetap saja, aku tidak kuat untuk mengipasi diri sendiri selama itu, dan badanku kembali terpanggang. Menghasilkan bulir-bulir keringat yang keluar tanpa ampun. Jadilah badanku lengket seperti ini.

Melirik pada kanan atas layar ponsel, kudapati angka 17:21. Sudah cukup sore untuk mandi, pun dengan keringat seperti ini, memang sudah seharusnya aku mandi. Ughh, tapi airku mati. Itu masalahnya. Aku sempat mempertimbangkan untuk menumpang mandi di salah satu kost teman sekelasku, tapi aku tidak seberani itu. Maksudku, kami adalah mahasiswa baru yang baru mengenal sekitar dua minggu lalu. Kami belum sedekat itu sehingga aku tidak perlu sungkan terhadapnya. Jadi aku membatalkan niat dan hanya tengkurap diatas kasur busa tipisku, memikirkan alternatif lainnya.

Sebenarnya aku tahu, pada akhirnya cara ini yang akan aku tempuh. Tapi aku terlalu ragu, mengingat mungkin kondisinya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Tadi saja dia terlalu rapuh. Wajahnya, ekspresinya... terlalu menyayat hati.

Dan aku hanya bisa mendesah lagi.

Sial, sepertinya tidur dengan badan penuh keringat seperti ini adalah hasil akhirnya.

Ponselku berdering. Melantunkan lagu A Thousand Years milik Christina Perri. Ringtone khusus yang disetel seseorang untuk nomor ponselnya sendiri. Kalau biasanya aku akan langsung mengangkat telepon orang itu di dering pertama aku mendengarnya, maka kali ini tidak. Aku justru mengerang frustasi. Aku sudah menyerah pada alternatif bahwa aku akan menumpang mandi di tempatnya agar aku tidak perlu melihat wajah menyedihkan itu lagi. Dan sekarang orang aku hindari malah menelponku?

Oke. Ini hanya telepon. Kita tidak perlu bertatap muka.

Benar.

Menarik napas sekali, kuusap layar ponselku untuk menerima telepon tersebut.Kusuarakan sapaan seperti biasanya, dengan nada kesal yang coba aku redam. Tapi kalimat pertama yang terdengar dari dia justru membuatku ingin memukul tembok kamarku seketika.

"Ka, bisa ketempatku? Aku.. gak pengen sendiri."

Damn. Shit. Double shit.

Aku mulai mengasihani diriku sendiri saat ini. Apa dia tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk menghadapi keadaan ini dan wajah memelasnya? Aku yang paling dirugikan disini. Mungkin dia hanya terpukul pada satu sisi, tapi aku dua. Dari dua pihak yang paling berpotensi menyakitiku. Dan memang sekarang mereka berdua sedang menyakitiku.

"Ka?" dia bersuara lagi. Mungkin karena aku yang tak kunjung menjawab. Suaranya lirih. Seolah-olah dia adalah makhluk paling menderita di dunia ini. Mengantarkanku pada gelombang kesedihan yang menggebu. Tapi aku sudah banyak menangis kemarin dan pagi tadi, dan aku tidak mau menangis lagi sekarang. Tidak jika tendensinya adalah mengayihani diri sendiri.

Kupejamkan mataku agar tidak mengeluarkan air mata sialan. Lalu kubersihkan kerongkonganku sebelum menjawab. "Oke. Aku kesana sekarang. See you there. Gue tutup teleponnya." Tanpa menunggu balasan apapun dari dia, kutekan tombol merah di tengah bawah. Justru berbahaya untuk mendengarkan suara menyedihkan itu lagi. Bisa-bisa aku kembali menangis. Mengasihani Citra, mengasihani Tata, dan mengasihani diriku sendiri. Mengasihani kami semua.

Menggulingkan badan telentang, aku menatap langit-langit kamar yang di cat biru gelap dan dihiasi kertas minyak berwarna kuning berbentuk bintang yang kubuat dan kutempel sendiri. Aku diam seperti itu cukup lama, merasa perlu meyakinkan diriku sendiri bahwa keadaan ini tidak akan menganggu hari-hariku lebih jauh. Aku harus hidup, setidaknya untuk diriku sendiri. Dan untuk mereka, orang-orang yang aku cintai.

Setelah yakin bahwa aku akan baik-baik saja, aku bangun dan berjalan ke arah meja belajar. Menyabet long cardigan yang tersampir di kursi, memakainya singkat, mengikat rambutku dan langsung berangkat setelah sebelumnya memesan ojek online.

Jarak kostku dari apartemen Tata tidak terlalu jauh. Dua puluh menit perjalanan jika jalan tidak macet parah. Untungnya hari ini jalanan tidak terlalu macet. Sesampainya di depan pintu apartemen Tata, aku menarik napas dalam-dalam. Dua kali. Lalu mencoba tersenyum sedikit, setidaknya agar Tata tidak berpikir bahwa aku tidak rela untuk datang kesini. Walau sebenarnya memang begitu adanya.

Dari kantong cardigan, aku keluarkan kartu akses apartemen Tata. Aku memang memegang satu. Tata sendiri yang memberikannya dengan dalih agar tidak repot jika sewaktu-waktu aku bertandang ke tempatnya. Memang menurutku lebih baik seperti ini. Aku sering datang ke apartemennya baik untuk sekadar memasakkannya lauk atau memang hanya ingin main saja. Kami sudah bersahabat sejak SMP, omong-omong. Jadi kedekatan seperti ini wajar saja, kan?

Kudorong pintu di depanku dengan hati-hati. Takut kalau-kalau Tata sedang tidur dan aku malah membangunkannya. Sebenarnya memang aku berharap begitu. Maksudku, kalau Tata tertidur, aku jadi tidak perlu melihat kesedihannya dan hanya melihat kepulasan tidurnya saja. Tapi harapanku tak terwujud. Setalah masuk sampai ke kamarnya dan sama sekali tidak melihat keberadannya, aku memeriksa sampai kedalam kamar mandi. TIngkat kefrustasian dan kesedihan Tata agaknya membuatku khawatir dan berpikir macam-macam. Untungnya Tata tidak melakukan apapun skenario buruk yang menjadi pradugaku tadi. Alih-alih, aku menemukannya sedang terduduk bersandar pada teralis balkon di sisi kiri kamarnya.

Ughh... wajah itu.

Aku menghela napas panjang. Lebih dalam dari sebelumnya. Kutarik langkahku untuk mendekat padanya, lalu ikut duduk selonjoran di lantai dingin balkon. Bahkan sampai aku sudah tepat di sampingnya saja ia tetap tak menoleh. Aku tahu jika Citra memang seberharga itu untuk Tata. Tapi bukankah ini terlalu berlebihan? Bahkan orang tua Citra lebih kuat dari ini.

"Udah makan?" aku yakin jawabannya belum. Aku hanya ingin menarik atensinya agar menyadari eksistensiku.

Tata akhirnya menoleh ke arahku dengan gerakan sangat lambat. Seolah-olah semua energinya telah ikut terkuras bersama air matanya. "Dia... kenapa..?" suaranya terlalu lirih dan aku tidak kuasa untuk mengabaikannya. Tenggorokkanku tercekat hanya dengan dua kata itu. Membuatku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menangis.

Tapi, sialnya, Tata menarik cepat tubuhku dan mendekapku erat. Kepalanya berada di bahuku, dan napasnya menghembus leherku. Ia kembali menangis. Keras sekali. Membuatku tidak bisa menahan apapun lagi. Air mataku turun seiring tangisnya yang makin menyayat-nyayat hati. Seumur hidupku mengenal Tata, inilah titik terlemah yang pernah ia perlihatkan padaku. Tataku yang ceria sedang absen untuk dua hari ini. Atau malah untuk hari-hari kedepan. Memikirkannya membuatku lebih mengeraskan tangis.

Aku tahu, diantara kami berdua tidak akan ada yang sama lagi setelah ini.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

Hai. Ini project baru aku. Yang lain masih lanjut kok. Cuma idenya lagi stuck aja. Ide yang ini lebih lancar soalnya.  Jangan lupa voment, ya. Biar aku lebih semangat nulisnya hehe.

See ya...

SEBELUM DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang