Seperti Kamu

11 1 0
                                    

Aku tidak tahu ingin menyebutnya apa.

Kekasih? Teman? Sahabat? Entah apa sebutan itu. Sebutan itu tidak punya arti. Hanya perasaan-lah yang berarti, dan perasaanku pun masih terombang-ambing antara suka dan cinta.

Perempuan itu bernama Yura. Namanya punya kisah. Kisah yang pernah ia ceritakan padaku pada pukul dua dini hari, di sela-sela pembicaraan kami.

"Papa pernah cerita," katanya lewat telepon, "bahwa Yura nama kekasihnya dulu. Ia suka sama nama itu. Ibu nggak pernah tahu, dan please, kalau dia tahu... Kan kamu tahu Mama orangnya gimana."

"Apa daya Papa kamu kalau sama istrinya," candaku.

"Iya, apa daya. Aku juga, mana berdaya kalau bareng kamu."

Aku hanya tersenyum, "Ih, dasar gombal."

Kalau dia pribadi yang lebih berani, aku hanya bisa tersipu malu-malu.

Tawanya yang ringan mengisi earphone-ku. Perasaanku campur aduk tak menentu lagi. Untaian perasaan yang berantakan kini semakin berantakan saja.

Itu tiga bulan yang lalu. Untuk beberapa orang, tiga bulan hanya seperti lima hari. Untuk orang lain, tiga bulan terasa seperti satu tahun. Untuk aku, tiga bulan seakan-akan hanya mimpi yang kamu bisa ingat di pagi hari sebagai kenyataan tadi malam.

Mimpi yang terlalu realistis. Mimpi yang entah cepat dan lambat berlalu.

Aku hanyalah tokoh di latar sebuah cerita yang baru saja mencapai klimaksnya. Tokoh yang orang baca dan tinggalkan, yang bahkan tidak tahu identitasnya sendiri karena penulis pun tidak menggubris keberadaanku.

Hanya satu sebutan bagiku: "orang".

Dan Yura, si gadis indah itu, yang merombak semua isi hatiku, yang menghancurkan dinding-dindingku... Dia tokoh utama. Dia bersama protagonis yang berbeda dari semua orang di cerita itu. Seorang tokoh utama dengan tokoh latar sebagai penghias masa lalunya.

Entah kapan kami menjadi seperti ini. Entah kapan hidupku menjadi rapi kembali. Padahal, kerapihan dan tatanan hidupku yang dulu sudah berani aku buang demi Yura. Hanya demi Yura.

Kadang, aku ingin menjadi sepertinya. Bahagia, berbeda, dan tak acuh.

Bahagia bersama Romeo-nya yang baru. Berbeda dari manusia sepertiku. Tak acuh setelah segala yang pernah terjadi denganku sudah tuntas.

Seminggu yang lalu, aku hanya khawatir. Aku tidak membalas pesan SMS-nya selama dua hari karena ada acara keluarga dadakan. Aku pun tidak sempat memberinya kabar. Diriku mungkin telah lenyap dari pandangannya dalam waktu sekejap, tanpa kabar, tanpa pesan.

Bodohnya aku. Yura hanya menanti pesan SMS dariku, dan aku tidak sanggup memberikannya.

Sudah lewat seminggu, dan aku masih tidak bisa melupakan senyumnya yang manis itu. Senyum yang selalu ia kenakan setiap kali ia bertemu denganku lewat kamera laptop yang sedikit blur. Setidaknya, aku masih bisa melihatnya.

Tetapi, itu dulu.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Hah?"

Seorang laki-laki duduk di hadapanku. Oh iya, Damian sudah janjian akan bertemu denganku di sini. Ia memiliki raut wajah kasihan ketika memandangku. Raut wajah yang semakin banyak aku lihat ketika mereka melihat diriku yang sedih ini.

Oh, betapa hinanya! Andai saja aku bisa mengatakannya.

"Jangan lihat aku seperti itu," kataku. Sial, mulutku tidak bisa dikendalikan.

"Seperti orang kasihan?" tanyanya.

"Kayak aku orang lemah. Aku tidak suka."

"Kamu nggak lemah," kata Damian, "kamu hanya sedang bersedih, dan aku mau membantu."

"Memangnya kamu tahu aku bagaimana?"

"Tidak. Makanya aku pengin nanya."

Aku hanya bisa terdiam. Ya, mulutku ingin berkata. Hatiku berteriak padaku agar aku mengatakan sepatah kata saja pada orang yang ingin mendengarkanku. Tidak ada orang lain di luar sana yang akan mendengarkan kisah piluku ini.

Oh, betapa hinanya!

"Yura pergi," bisikku. Hanya itu. Hanya itu yang bisa aku katakan dengan sisa energi dan emosi yang berkecamuk dalam dadaku.

Damian hanya mengangguk pelan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang wajahku dengan raut muka yang berbeda.

Setelah dua menit yang panjang, ia akhirnya berbicara, "Yura bikin sebal saja."

"Maksudmu?"

"Bikin kamu sedih begini, Reuben. Kamu nggak sudi begini. Biasanya kamu senang, kayak tanpa masalah. Sekarang..."

Aku hanya menyesap teh panasku, membiarkan cairannya membakar kerongkonganku.

"Sekarang, aku lihat kamu aja jadi sedih," katanya dengan suara lirih.

"Maaf aku bikin kamu sedih."

"Ya, nggak apa kok. Emang aku orang yang kayak gini."

Damian menghela napas panjang dan memandang sekitar kafe. "Aku mau pesan dulu, ya. Kamu mau makan apa lagi? Atau beli minuman?"

"Ada Indomie, kalau mau."

"Ah, Indomie!" Ia segera memanggil pelayan kafe. "Indomie kuah satu, teh manis dingin satu. Kamu mau apa, Reuben?"

Aku ingat Yura pernah bilang ia suka Indomie kuah. Aku setuju dengannya, dan kami lalu membahas tentang Indomie dan seluk beluknya.

"Indomie kuah is the best," celetuknya pada sore yang mendung itu, "you are also the best, Reuben!"

Aku mengangguk pada pertanyaan Damian. "Aku juga mau yang kuah, satu saja. Dan... teh manis hangat satu gelas. Itu saja."

Damian tersenyum padaku. Aku hanya menyenyuminya kembali.

Seperti KamuWhere stories live. Discover now