Seperti Dia

8 0 0
                                    

(Sekuel dari Seperti Kamu.)

Bulan baru muncul dari awan tipis yang menyelimuti langit pada malam kering ini. Sore-sore, sang rembulan masih malu-malu, sampai langit cepat menggelap pukul setengah tujuh malam. Anak-anak bergegas pulang ke rumah, suara gelak tawa mereka ditelan jarak.

Damian duduk di sampingku. Wajahnya lelah walaupun sedikit senyum masih menempel pada bibirnya. Gelas berisi teh manis dibiarkan di atas meja kayu karena masih terlalu panas untuk diminum, bahkan untuk dikecap.

"Reuben," katanya setelah sekian menit berlalu, "kamu nggak mau ngomong sama aku."

Aku terdiam. Hal yang sering aku lakukan setiap kali ia berbicara.

Entah kenapa ia masih ingin berbicara denganku setelah insiden tempo hari...

"Kamu nggak mau ngomong karena kamu bersalah?" tanya Damien. Tangannya mengepal di dua sisi. Matanya tidak bertemu dengan mataku. Ia tidak pernah seperti ini.

"Aku cuma patah tulang, Reuben, tolong," pintanya, "bicara denganku."

"Kamu pikir aku cuma mikirin itu? Tulang patah?"

"Reuben..."

"Kamu salah!" bentakku. "Aku juga mikirin kamu. Keadaanmu di rumah sakit, rasa kesepianmu, rasa kelelahanmu saat dokter cuma menjejalimu obat—"

"Aku nggak selemah itu."

Aku diam.

Aku marah, murka, dan berang. Tapi aku hanya diam. Damian melihat wajah yang aku pasang sekeras-kerasnya dengan tampang sedih.

Aku menghela napas lega ketika ia menoleh ke arah lain tanpa berkata-kata lagi.

***

Gadis itu berdiri di sana dengan seorang laki-laki yang bukan diriku.

Gadis yang sangat aku kenali, tapi laki-laki itu tetap bukan diriku.

Kadang, aku ingin seperti dia yang mampu dan sanggup menjadi sandaran Yura, memberi dukungan penuh padanya, dan meluangkan waktu yang aku miliki padanya. Apa namanya cinta tanpa pengorbanan? Bukankah cinta memerlukan devosi atau persembahan?

Jika aku punya waktu, bukankah aku harus memberikannya pada dia? Jika aku punya harta, bukankah aku harus memberikan setidaknya separuh untuk dia?

Dia — laki-laki yang menggandeng tangan Yura sekarang — adalah seorang yang mampu memberikan Yura semua miliknya dengan ikhlas. Bukan sepertiku yang hitung-hitung, yang masih memikirkan diri sendiri, dan yang kadang masih segan meluangkan waktu untuk berbicara pada orang lain.

Aku bukan seperti dia yang bisa segalanya.

Damian lalu muncul dari sisi kananku dan menggenggam tanganku, tapi aku tahu bahwa semua itu hanya mimpi.

Saat aku membuka mataku, hanya ada dunia yang gelap, dingin, dan kosong, sama seperti isi hatiku.

Tapi segalanya berubah ketika aku memiringkan kepala ke sisi kananku, di mana sebuah kepala dengan rambut cokelat berantakan tidur di samping lenganku.

Damian. Ia menungguku dari tadi.

"Damian, ayo bangun," bisikku dengan suara serak. "Kamu kok masih di sini, harusnya udah pulang."

Ia mengangkat wajahnya yang letih itu, mencari-cari wajahku di kegelapan. "Reuben? Ini jam berapa?"

Aku menyipitkan mata pada jam yang berdetak di dinding. "Itu, jam 10 malam. Kamu harus cepat pulang, lho. Mumpung masih bisa kejar bis terakhir."

"Bis udah bubar semua jam segini, Sayang," candanya, "taksi pun bakal ogah ke kompleks rumah nan sepi malam begini."

Sisa-sisa kantukku masih belum pudar. Wajah Damian tampak lebih indah dari biasanya.

Ia sedang tersenyum. Tersenyum padaku yang sedang tidak tersenyum.

Dari manakah ia mendapatkan senyuman itu? Dari rembulan yang kini terang benderang di langit malam? Dari foto diriku yang berumur lima tahun ketika menaiki sepeda baru? Dari bintang kejora yang bersinar tanpa pamrih bagi manusia yang sedang menanti?

Aku menggenggam tangannya, berusaha menemukan jawabannya. Jawaban itu tak kunjung datang.

Ia menggenggam tanganku kembali. Tatapannya lembut.

Aku hampir teringat Yura, tetapi wajah Damian malam ini memenuhi pandanganku yang mulai kabur ketika aku menutup mata.

Lalu ia memeluk tubuhku yang rapuh ini. Lalu ia mencium keningku yang basah karena keringat dingin. Entah kenapa, aku tidak menghentikannya. Ia tidak melepaskan tanganku, aku pun tidak melepaskan tangannya.

"Kalau kamu begini," ucapku pelan, "kamu nggak bakal pulang. Percayalah. Jangan lanjutkan. Tolong jangan lanjutkan."

"Kamu takut?"

"Nggak. Nggak tahu. Mungkin."

"Takut apa?"

"Aku takut sama kamu," kataku. Wajah Damian tidak berubah. Ia masih tersenyum manis. Manis sekali, aku tak tahan.

"Ayolah, sudah malam benar, kamu masih ngantuk, kan?"

"Aku nggak mau pulang," katanya, sambil mendorongku lembut hingga kembali terbaring di atas kasur. "Aku mau lihat bintang."

"Itu, jendela udah dibuka."

"Kamu. Kamu bintangku." Damian menyingkirkan rambut dari mataku. "Aku mau lihat kamu. Bolehkah...?"

Aku menatap matanya yang bersinar. Wajahnya yang tulus. Bekas senyuman yang tergores di bibirnya yang menunggu jawabanku.

Aku mengangguk.

Aku menahan napasku.

Dia mencium leherku dan aku menginginkan lebih.

***

Aku ingin seperti dia.

Dia yang menggenggam tangan seorang Yura yang aku kenali, dia yang mampu memberi Yura apa yang ia inginkan, dia yang mampu meluangkan waktu dan tenaganya demi Yura yang indah, Yura yang cantik, dan Yura yang rupawan.

Tapi aku juga ingin seperti dia.

Dia yang terbaring di sampingku dengan bibir setengah terbuka, dia yang masih menggenggam tanganku walau sedang hilang di alam mimpi, dia yang kuat demi aku yang lemah, aku yang suka marah, dan aku yang suka diam.

Jam berdetak menuju pukul 1 pagi. Aku mengecup dahi laki-laki di sampingku dan tidur dalam pelukannya.

Seperti KamuWhere stories live. Discover now