60. Remember me?

6.6K 304 28
                                    

"Sorry, kalau emang waktu itu aku jahat, bahkan mungkin... sekarang juga masih jahat," lanjut Vanessa.

Sophia menggeleng cepat. "E-enggak," ucapnya.

Vanessa masih memejamkan matanya dengan rapat, lalu dia menghela nafas ringan, "iya dong, selama ini aku suka jutek dan kadang marahin kamu, suka mengabaikan kamu juga, menurut kamu aku gak jahat kalau kaya gitu?!"

Sophia tidak menjawab, isak tangisnya semakin jelas terdengar.

Vanessa terkekeh, dan menepuk pundak Sophia dengan pelan. "Lucu deh, dulu kamu selalu diem, kalau aku omelin ini itu di telepon, kamu selalu kalah," Vanessa memberi jeda.

"Karena dulu, kamu masih kekanak-kanakkan dan belum bisa berpikir lebih panjang lagi. Tapi kamu tau gak? Kalau saat ini aku lebih merasa tenang lagi."

Mendengar pertanyaan itu, Sophia tidak bisa menebak dan menjawabnya. Memang, Sophia juga bisa merasakan perasaan istrinya, yang selalu dihadiri sebuah ketenangan. Tapi apa yang membuat Vanessa tenang?

"Beberapa tahun setelah kita putus, dan kita sekarang dipertemukan lagi, aku ngerasa tenang, karena sekarang kamu udah lebih dewasa dari dulu, bahkan lebih dewasa dari aku," ucapnya, lalu Vanessa tersenyum.

Benarkah? Sophia tidak menyangka, Vanessa akan menilainya sampai seperti itu. Sophia kira, selama ini Vanessa tidak pernah memperhatikannya. Bukan hanya memperhatikan, tapi ternyata Vanessa selalu mempedulikannya, Sophia baru menyadari hal itu.

Vanessa membuka matanya. "Kamu lihat kan? Sekarang kita terbalik loh, sekarang kamu yang selalu bikin aku seketika tutup mulut, dengan segala kata-kata yang kamu ucapkan. Gak tau kenapa deh, aku ngerasa kamu itu superior."

Sekarang, mereka bisa saling mendengar detak jantung satu sama lain, detakan yang sangat keras, hingga bisa terdengar dengan jelas. Keraguan dalam diri mereka perlahan menghilang. Karena situasi yang sepi, dan tidak ada seorang pun kecuali mereka disini, Vanessa pun memberanikan diri untuk mencium kening istrinya, sebenarnya ia sedikit takut, tapi gerakan itu refleks dilakukannya.

"Aku-"

Ceklek

"Ups! Kamera kakak ketinggalan."

Itu William. Dengan wajah tanpa dosanya, dia berjalan memasuki ruangan, dan mengambil kamera miliknya di atas nakas.

Sedangkan Vanessa dan Sophia masih dalam posisi mereka. Tapi Sophia berusaha menyembunyikan eskpresi wajahnya yang penuh tangis, ia menempelkan wajahnya ke pundak kanan Vanessa, walaupun sebenarnya ia sebal dengan kelakuan kakanya, William pasti sengaja.

"Udah, lanjut aja ya~" ucap William, yang juga seperti menahan tawa, sambil mengibaskan tangannya, lalu keluar dari ruangan.

Sophia menjauhkan dan melepaskan tubuhnya dari dekapan Vanessa. "Maaf," ucap Sophia lalu tersenyum dan mengusap air matanya.

"Oh, gapapa," Vanessa balas tersenyum.

"Tapi aku masih belum berubah, selalu dramatis," Sophia mengangguk-angguk.

"Nggah ah, kurang dramatis," ucap Vanessa, diakhiri dengan tawaan.

Sophia ikut tertawa ringan, "dasar..."

Vanessa tersenyum manis, ia senang bisa melihat Sophia tertawa lagi. "Cepet sembuh," ucapnya. "Biar bisa ketawa bareng."

Sophia mengangguk. "Iya, semoga."

"Harus," balas Vanessa.

"Pasti," Sophia menjawab lagi.

"Yaudah, tidur, istirahat, biar aku jagain," ucap Vanessa dengan suara lembut.

𝖣̷𝗈̷𝗇̷'̷𝗍̷ Need Your Love 💝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang