Bab V

11.6K 1K 39
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Hei, Mak-emak! Jangan genit-genit sama tuanku, ya! 💣

*****


A

ku memandang wajah sayu itu di depan cermin, sisa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut kusam serta bibir pucat menjadi pemandangan utama.

Kuhela napas sekali lagi, lalu mengambil tas yang tergeletak di sisi ranjang. Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini.

Saat melewati ruang tengah, kulihat Ayah sedang duduk termenung sendirian, kehela napas berat, kali ini fokusku bukan lagi biaya wisuda, melainkan kelangsungan hidup keluarga.

Aku berjalan mendekat, memeluk lengan Ayah yang duduk di sofa panjang. "Ayah jangan sedih, Silva janji akan cari uang buat bayar hutang kita," ucapku lembut, berharap mengurangi kegelisahan hati pria tercintaku ini.

Ayah menghembuskan napas panjang, menoleh ke arahku dengan senyum dipaksakan. "Maafin Ayah," ucap beliau serak.

Kusapu lembut lengan yang selama ini berusaha keras untuk menghidupi kami sekeluarga. "Seharusnya Silva yang minta maaf, belum bisa jadi anak kebanggan Ayah."

Pria tua itu tersenyum lembut. "Kamu anak Ayah yang hebat, nggak manja dan selalu bisa diandalkan."

Aku mengangguk kecil. "Ya sudah, sekarang Ayah istirahat, Silva berangkat kerja dulu."

"Kamu hati-hati, selalu waspada sama lelaki yang mendekati kamu," ujar Ayah menasehati.

"Iya, Ayahku sayang."

Setelah berpamitan, aku lekas meninggalkan rumah menuju kediaman tuan besar yang kali ini kuharap tak mengingat sikap tak sopanku semalam. Meski sebenarnya dialah yang lebih tak sopan.

Aku memukul kepalaku saat ingatan tentang ciumannya kembali terlintas, bisa-bisanya aku membayangkan hal itu di saat sekarang.

Kakiku kini telah berdiri di depan gerbang yang menjulang, menampakan keangkuhan yang sama dengan sang empunya. Kutarik napas panjang seraya berdoa semoga niatku kali ini berjalan sempurna.

Aku memantapkan langkah memasuki halaman luas ini setelah dipersilahkan satpam, mataku berkeliling mencari-cari sosok yang ingin kutemukan.

Nah, itu dia. Si penjaga berwajah datar yang selalu mengikuti ke manapun Tuan Max pergi.

"Selamat pagi, Jo," sapaku seramah mungkin.

Pria itu menoleh tanpa ekspresi. "Untuk apa kau datang lagi?" tanyanya datar.

Aku meringis tanpa sadar, dengan jantung berdebar-debar. "Kenapa pertanyaanmu seperti itu?" tanyaku, pura-pura tidak tahu.

Jo mendengus kasar, lalu menatapku tajam. "Tuan Max hampir membunuhku karena ulah kurang ajarmu!" ucapnya geram.

Blind HeartWhere stories live. Discover now