26. Pengakuan Arin

1K 83 2
                                    


Istirahat kali ini Langit berada di ruang OSIS ditemani Gia yang sedang mengetik proposal untuk kegiatan tahunan. Keduanya hanya saling diam tanpa ada obrolan sama sekali sampai berkali-kali Gia mendengar keluhan napas panjang berasal dari laki-laki di belakangnya.

"Kenapa Kak?" tanya Gia menoleh ke belakang.

Langit mengedikkan bahunya sambil tersenyum kecil. "Nggak ada," jawabnya.

Gia mangut-mangut lalu menyumpal kedua telinganya dengar earphone mendengarkan lagu Honne milik Location Unknown sambil bersenandung pelan. Langit hanya melirik tanpa berkomentar. Tak lama kemudian Elna si wakil ketua OSIS yang sebentar lagi akan melepas jabatannya itu masuk ke ruang OSIS dengan terburu-buru.

"Lang! nih, tadi ada titipan surat dari Aldo nggak tau itu isinya apa, katanya suruh ngasih ke pembina OSIS. Gue buru-buru nih! ada urusan." Elna menyerahkan sepucuk surat itu lalu pergi dengan sedikit berlari sehingga suratnya terjatuh.

Gia menoleh ke belakang dan mengambil surat yang terjatuh lalu bertanya, "surat apa Kak?"

Langit menggeleng tanpa dia tidak tau. Gia iseng membuka surat tanpa perekat lem itu dan terbelalak kaget ketika membacanya.

"Surat pengunduran diri? Dari Arin?" Gia lantas beranjak dari tempat duduknya bermaksud untuk menghampiri Arin, sedangkan Langit sedikit terkejut ketika mendengarnya. Apakah ucapan Arin terakhir kali itu memang benar? Ah! entahlah... itu juga bukan hal penting untuknya.

Di kelas Arin lumayan berisik. Gia melihat Arin sedang tertidur nyenyak membuat Gia menggelengkan kepalanya. Padahal ada anak gerombolan laki-laki di bagian pojok sedang heboh bercanda sampai tertawa keras. Bisa-bisanya Arin tidur pulas ketika Gia memanggilnya di ambang pintu.

"Arin!" panggil Gia lagi sambil duduk di depannya.

Entah pura-pura nggak denger atau sengaja tuli dadakan Arin masih tidak menyaut panggilan Gia.

"Ariiinnn...! Woi! Dipanggil dari tadi juga nggak nyaut-nyaut. Beneran nggak bisa bangun gue aminin nih!" acam Gia membangunkan Arin.

"Apaan?" gumam Arin masih memejamkan mata.

"Asli ya! lo tuh ngeselin banget. Maksud surat ini apa?!"

Arin menegakkan tubuhnya lalu bersandar pada sandaran kursi sambil menatap malas ke arah Gia. Emosi Gia sekalin meletup-letup kala Arin hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh dan kembali memposisikan diri untuk tidur kembali.

"Ya ampun Rin...! Lo kan udah masuk kandidat calon ketua OSIS, lo kok bisa menyerah semudah ini sih!?" kesal Gia. "Gini deh! kalau ini soal Kak Langit entar gue yang bicara baik-baik sama kak Langit biar dia gak negting mulu sama lo. Rin, gue percaya kok, kalo lo pasti bisa tunjukkin ke mereka kalau lo itu sebenarnya mampu."

"Udahlah Gi... lagian gue udah nggak tertarik lagi masuk OSIS."

Arin menoleh ke belakang mendengar seruan gorombolan laki-laki yang kini sedang membicarakan gaya ngomong Bu Tia sambil mempraktekkannya. Arin geleng-geleng kepala lalu membuang muka saat melihat Anan tersenyum kepadanya.

Arin menoleh ke arah Gia lalu merebuat surat itu dari tangan Gia. "Kalau lo nggak mau kasih ke ketos sialan itu biar gue aja."

Arin kemudain berjalan ke ruang OSIS yang berada di lantai bawah. Dia berjalan meruni tangga lalu berbelok ke arah kiri sebelum perpustakaan. Arin membuka pintu ruang OSIS bertepatan saat Langit hendak membukanya. Langit menatap Arin dengan tatapan datar lalu merilik ke arah amplop surat yang tadi dibawa Gia dan merebutnya.

"Biar nanti gue yang ngasih," ucap Langit berbalik meletakkan surat itu di atas meja lalu kembali menuju pintu di mana keberadaan Arin masih berdiri tegak.

"Masih ada urusan?" tanya Langit dingin.

Arin menelan ludahnya merasa setengah tidak rela untuk melepaskan keinginannya itu. Dulu waktu SMP Arin tidak diperbolehkan mengikuti OSIS oleh ibunya. Karena Arin masuk sepuluh besar paralel ujian nasional, akhirnya Arin diperbolehkan mengikuti organisasi itu ketika di SMA. Tapi sayang, sekarang ibunya melarang lagi ketika Arin ingin mencalonkan diri sebagai ketua OSIS.

📖📖📖


Anan bersiul-siul menatap langit-langit dan memasukkan kedua tangannya di saku celanya sambil bersandar pada dinding. Dia memblokade jalan Arin saat akan melewatinya.

"Cie... nyamperin doi?" tanya Anan mengerlingkan mata.

Arin mendelik lalu menendang kaki Anan yang tengah menghalangi jalannya. Sampai sekarang pun, Anan masih ngotot ingin membuktikan jika Arin menyukai Langit atau tidak. Padahal itu jelas sudah disuarakan Arin jika dia tidak menyukainya. Sama sekali.

"Aduh," ringis Anan pelan lalu menarik kakinya. "Kalem dong... lo nanti juga pasti minta restu dari gue loh! jangan main kasar."

"Bodo amat!" sewot Arin maju satu langkah, tapi segera dijegat Anan yang kini berdiri berhadapan dengan Arin.

"Apa lagi sih!?" kesal Arin.

Anan tersenyum setelah memikirkan cara apa yang pas agar Arin mau buka suara. "Gue ganteng nggak?" tanya Anan.

Arin mengerutkan kening lalu membuat ekspresi seakan-akan dia ingin muntah mendengarkan pertanyaan random dari setipe cowok seperti Anan.

"Harus jujur," tekan Anan.

"Hanin sama Gia sih, bilangnya gitu," jawab Arin tanpa menjelaskan.

"Gitu gimana?"

"Yang lo tanyain itu."

"Gue minta pendapat dari lo kok, bukan Gia apalagi Hanin."

"Gue nggak mau jawab."

"Gue mau maksa lo jawab."

"Durasi pertanyaan habis. Minggir lo!" sentak Arin mendorong tubuh Anan ke belakang, tapi percuma karena tubuh Anan jauh kuat ketimbang tenaga Arin.

"Mau lo tuh apa sih!?" kesal Arin hampir frustasi.

"JAWAB."

"Iya ganteng, puas lo?"

Anan tersenyum geli mendengar pengakuan Arin yang terkesan terpaksa. Anan maju satu langkah di depan Arin sambil menyeringai tipis lalu berbisik di sebelah telinga Arin, "Kalau suka sama Langit?"

"Enggak!" jawab Arin cepat tanpa pikir panjang lalu mendorong tubuh Anan menjauh.

"Jawabnya yang jujur," paksa Anan tidak menyerah.

Arin menghela napas perlahan berusaha untuk sabar. Kali ini dia akan menjawab pertanyaan Anan sesuai apa yang diinginkannya. Arin hanya ingin cepat masuk kelas tanpa berlama-lama berhadapan dengan Anan.

"Iya! Gue suka sama Langit. Kurang jelas?" seru Arin meninggikan volume suaranya.

Anan menganggukkan kepalanya tersenyum puas akan jawaban Arin. Ia kemudian melongok ke belakang Arin melihat Langit yang kini berjarak satu langkah di depan Arin. Anan yakin, pasti Langit mendengarnya.

"Gimana Lang, masih kurang jelas? Sisanya lo tanya langsung." Anan bertanya meminta pendapat sekaligus saran.

Arin ternganga lalu berbalik badan dan langsung berhadapan dengan wajah Langit.

  📖📖📖

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang