29. Begadang

1K 71 0
                                    

Selamat Pagi semua...
Semoga kita selalu dilindungi dan diberi kesehatan.

Tetep jaga diri
#dirumahaja

Selamat Membaca....

*****

Sore ini Arin pulang sekolah bersama Saka menaiki sepeda motor seperti biasanya. Saat di perjalanan pulang, mereka berhenti terlebih dahulu di sebuah minimarket karena Saka akan membeli sesuatu. Saka melepas helm-nya seusai memarkirkan motornya lalu berjalan mendahului Arin masuk ke dalam minimarket.

"Loh! Kamu Hilda 'kan?" tegur Arin saat melihat seorang gadis masih mengenakan seragam yang sama sepertinya duduk sendirian di kursi depan minimarket.

"Eh! Kak Arin?" Wajah murung Hilda berubah terkejut akan kehadiran Arin. "Kak Arin sama siapa? Sendiri?"

Arin menghela napas sekali lalu duduk di hadapan Hilda. Gadis itu tersenyum karena kakak kelasnya itu sangat ramah dan baik kepadanya.

"Sama Saka, dia lagi ada yang mau dibeli," jawab Arin seadanya sambil mengambil ponselnya yang ada di dalam tas.

"Ka-Kak Saka ada di sini?" ulang Hilda memastikan dengan bertanya.

Arin mengangguk, sementara Hilda berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan senyumnya agar tak terlihat. Gawat, bisa-bisanya dia tidak menyadari ada kehadiran Saka ketika masuk ke minimarket. Hilda sedikit merapikan poni rambutnya dan berdehem sekali untuk menetralisir degup jantungnya.

"Kenapa emang?"

"Hah! Eh, nggak pa-pa Kak, cuma tanya," jawab Hilda kelabakan.

Untung saja kakak kelasnya itu tidak menyadari salah tingkahnya. Hilda menghela napas sekali lalu mengeluarkannya lewat mulut secara perlahan sambil memandangi kesibukan Arin yang tengah berkutat dengan layar ponselnya. Kemudian sesuatu mengganggu pikirannya.

"Kak Arin benci banget ya sama Kak Langit?" Akhirnya satu pertanyaan itu dengan berani Hilda tanyakan kepada Arin setelah saling diam beberapa menit. Hilda hanya ingin tau alasan jelasnya kenapa Arin membenci Langit. "Kenapa kak Arin benci Kak Langit?"

Sejenak Arin berpikir, bahkan dia terlihat tidak bereaksi apapun. Arin hanya terus memandangi layar ponselnya tanpa berkedip sekalipun. Pertanyaan itu jelas mengganggunya, kenapa dia harus selalu diingatkan dengan satu orang itu? Arin tidak mengerti.

"Kenapa Kak? Kenap-"

"Rin," panggil Saka memotong pembicaraan Hilda. Gadis itu menghela napasnya beralih memandangi Saka.

"Udah?" tanya Arin setengah beranjak. Saka mengangguk, kemudian Arin menoleh ke arah Hilda karena dia tidak mampu menjawab pertanyaannya. "Da, gue sama saka duluan, ya?"

"Eh! Iya, Kak," jawab Hilda setengah gelagapan karena terus mengunci pandangannya ke arah Saka. Cowok itu tersenyum ke arah Hilda. "Lo sendiri?" tanyanya.

"Sendiri, Kak."

"Mau bareng kita?" tawar Saka.

"Yang bener! Lo aja pake sepeda motor, beda cerita kalo lo pake mobil. Nah, serah lo deh kalau mau ngasih tumpangan," seloroh Arin geregetan.

Saka melebarkan cengirannya sampai matanya menyipit. "Oh! Iya lupa."

"Udah ayo...!" ajak Arin menarik tangan Saka.

"Eh! Tapi bertiga bukannya bisa ya? Lo mau?" tanya Saka lagi.

Arin langsung berbalik menghadap Saka dengan pandangan kesal. Bahkan dia sudah berkacak pinggang siap-siap mengomeli Saka, tapi Saka langsung garcep dengan mengambil tindakan membekap mulut Arin dengan tangan kirinya.

Sementara Hilda sudah tidak mampu menahan senyumnya. Bonceng bertiga pun bagi Hilda tidak masalah, asal dia bisa ikutan bersama Saka. Andai keinginannya itu bisa disuarakan, Hilda pasti akan berteriak sekeras-kerasnya.

"Ya udah gue duluan ya... istri gue keburu rewel," pamit Saka melambaikan tangan dengan tangan sebelahnya yang terbebas.

Arin lantas melepas tangan Saka yang membekapnya dan mendorong tubuh Saka ke samping. "Lo gila? Istri? Istri apaan?"

"Istrinya Manu Rios, emang lo nggak kenal?"

"Manu Rios siapa? Nggak terkenal mana gue bisa kenal?"

"Sok jual mahal lo, sok jual mahal cieee...."

"Eh! Apaan sih!? Hahaha...."


📖📖📖

Jujur saja, sudah selarut ini Arin tidak bisa tidur. Alasannya sudah pasti karena omongan adik kelasnya sore tadi saat di minimarket. Arin benar-benar tak menyangka kenapa Hilda bisa beranggapan demikian. Belum lagi masalah dia dan Anan pagi tadi. Pasti masalahnya nggak akan jauh-jauh dari Langit. Kenapa harus Langit, sih?

Arin gelisah sendiri dan hanya mampu memandangi jam dinding yang terus berputar. Gila! Sekarang sudah hampir jam dua pagi dan Arin masih begadang? Arin segera menarik selimutnya ke seluruh tubuh dan memejamkan matanya secara paksa.

Akhir-akhir ini Arin merasa sial. Hari-harinya selalu jauh dari kata ketenangan. Gara-gara begadang semalam Arin jadi lupa tidak mengerjakan PR. Niatnya mau bangun pagi agar bisa menyalin contekan, lagi-lagi Arin malah bangun siang dan ditinggal Saka.

"PAK! NGEBUT DIKIT PAK." Arin menepuk bahu pengemudi ojol agar mempercepat laju motornya. "Udah telat nih!" serunya.

"Sabar neng, ini juga udah ngebut."

Arin berkali-kali menghela napas khawatir. Lima menit kemudian Arin tiba di depan gerbang sekolahnya dan segera meminta satpam untuk membukanya.

"Udah telat berapa menit kamu!?" Seorang guru BK-nya yang bernama Pak Danang datang menghampiri Arin.

"Se-sepuluh menit Pak," jawab Arin menunduk.

"Lari tiga kali putaran!" perintah Pak Danang menunjuk ke arah lapangan.

"Tapi Pak, saya-"

"Lima kali putaran!!!"

"Eeeh! Iya, Pak."

Arin segera berlari menuju lapangan sebelum hukumannya bertambah menjadii sepuluh kali putaran karena membantah perintah pak Danang. Arin tidak yakin kalau dia sanggup berlari sampai lima kali putaran terakhir. Putaran kedua Arin merasa sedikit pusing. Selain karena semalam begadang, sebelum berangkat sekolah Arin tidak sempat untuk sarapan.

Putaran ketiga Arin sudah tidak sanggup lagi. Kakinya melemas, laju larinya melambat. Arin hanya sanggup berjalan sambil memegangi keningnya karena sakit kepalanya semakin terasa. Pandangan Arin kini mulai kabar, dua langkah kemudian pandangan Arin berubah gelap dan dia terjatuh.

"ARIN!!!"

📖📖📖

"TBC"

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora