Wattpad Original
Te quedan 3 partes más de forma gratuita

Dua - Lari Maraton

91K 7.2K 635
                                    

Panasnya terik matahari disiang ini terasa makin menggerogoti kulit. Bukan hanya menggerogoti, tetapi mungkin bisa dibilang mencabik-cabik. Mona yang berdiri di belakang Adit menahan rasa hangus di kulitnya ketika sedari tadi terus berdiri di tempat ini.

Saat ini, Mona tengah mengikuti Adit yang sedang meninjau lokasi untuk digunakan sebagai lokasi lari maraton yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Acara lari maraton ini akan dibuka untuk umum di Skadron Udara 71 ini. Setiap tahun, TNI AU sering menyelenggarakannya.

Entahlah karena saking profesionalnya atau apa, Adit sampai ingin turun langsung untuk meninjau lokasi seorang diri. Mau tidak mau, Mona sebagai ajudannya juga harus ikut berdiri di tempat ini. Karena terlalu lama berada di bawah matahari langsung, Mona merasakan puncak kepalanya terbakar. Namun, walaupun tanpa topi untuk menghalangi sinar matahari, maupun kacamata hitam untuk menangkal silaunya, ia tetap berdiri tegar dan mengikuti ke mana kaki Adit melangkah. Hanya mengenakan seragam PDH, dan membawa waist bag yang tentu saja berisi semua keperluan Adit, ia terus berjalan dengan langkah tegap.

Untuk sejenak, Mona memandang gelisah botol air mineral yang masih berembun di genggaman tangannya. Kalau saja tidak ingat bahwa itu milik komandannya, mungkin sudah diteguknya dan diguyurkannya ke wajahnya sejak tadi. Matahari siang ini benar-benar berhasil membunuh jiwa kesatrianya.

Sementara di depannya, Adit masih saja sibuk berbicara panjang lebar dengan anak buahnya yang lain. Seperti tidak memedulikan seberapa panasnya siang itu, Adit terus saja berkeliling ke sana dan kemari.

"Nanti garis start dimulai dari sini saja, kemudian panggungnya di sebelah sana." Tangan Adit menunjuk ke sana kemari dan langsung diikuti oleh anggukan kepala para bawahannya.

"Siap, Ndan." Setelah berhasil menyepakati satu titik, mereka beranjak ke titik lain. Seperti tidak akan ada tanda-tanda selesainya bagi Mona.

"Kalau anak buahnya enggak pakai kacamata atau topi, harusnya elo jangan pakai juga. Gimana, sih," gerutu Mona. Ia memelototi sosok komandannya sendiri. Tentu saja ia memelankan suaranya sekecil mungkin.

"Lo kalau gue bilang udah, ya, udah. Jangan satu skadron lo puterin semua." Dengan suaranya yang samar, tak ada henti-hentinya Mona mengomeli keprofesionalitasan komandannya itu. Kurang durhaka apa coba ajudan seperti Mona ini.

Sejak penugasan mendadak yang diterimanya, sudah satu bulan berlalu setelah hari itu. Dan selama satu bulan ini, dirinya benar-benar menjadi ekor komandan. Di mana komandannya berada, maka di situ juga dirinya berada.

"Serda Mona," panggil Adit. Ia berbalik badan ke arah Mona.

Seperti seseorang yang bisa membaca raut wajah, tak perlu bertanya pun, Mona tahu jikalau komandannya itu sedang kehausan dan menginginkan air mineral yang ada di tangannya.

"Silakan, Ndan." Mona memberikan botol mineral yang ada di genggaman tangannya itu. Dan Adit langsung menerimanya. Namun, ketika ingin membuka tutupnya, Adit kembali berbalik dan memperhatikan Mona.

"Kamu cuma bawa satu botol?"

Mona mengangguk. "Siap, Ndan. Kalau kurang nanti saya belikan lagi. Izin."

"Bukan, maksud saya, kamu minum apa?"

Seketika semua orang yang ada di sana melihat ke arah Mona. Mona jadi merasa serba salah ingin menjawab apa. Menurutnya aneh saja, karena komandannya ini tidak seharusnya mengkhawatirkan ajudan seperti dirinya.

"Enggak masalah, Ndan. Saya gampang aja," jawabnya sembari menghapus kasar peluh di dahinya yang terus menetes. Terik matahari di siang ini panasnya sangat tidak bercanda.

Tanpa basa-basi, Adit menghampiri Mona dan menyodorkan botol air mineral di tangannya. "Kamu minum aja ini."

"Lah, kenapa, Ndan? Saya enggak haus." Secara refleks, Mona melangkah mundur dan menggoyang-goyangkan kedua tangannya seakan ia tidak membutuhkan air itu. Padahal sebenarnya sangat butuh sekali.

Jodoh KeduaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora