enam

3.2K 365 24
                                    

•••

Semalaman Erlangga gelisah dalam tidurnya. Apalagi jika bukan karena kelakuan aneh kakaknya. Mungkin bagi orang lain hal ini terlalu berlebihan, tapi bagi Erlangga jelas lain. Erlangga sudah kenal Ares sejak dia menyapa dunia ini untuk pertama kalinya. Ares yang Erlangga kenal tidak pernah bersikap seperti tadi. Ares yang tadi terlihat seperti orang yang putus asa dan depresi.

Sebenarnya Erlangga ingin mendatangi Ares saat ini juga. Ingin menanyakan semua hal yang mengganggu pikirannya, tapi tidak jadi. Bukankah tadi kakaknya sudah bilang dia capek dan akan istirahat sebentar. Atau itu hanya asumsinya saja?

Tapi bukankah dengan asumsi itu Erlangga bisa menetralisir kegusarannya? Tapi kenapa kenyataannya tidak. Asumsi tidak pernah berguna. Ia baru bisa tidur saat jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Itu pun dengan perjuangan keras. Seperti membaca buku yang membosankan agar ia cepat mengantuk. Nyatanya, berhasil juga.

Dua setengah jam kemudian alarm berbunyi. Walau matanya masih berat untuk terbuka, Erlangga tetap beranjak bangun. Bukan menuju kamar mandi seperti rutinitas hariannya. Melainkan menuju kamar kakaknya. Erlangga ingin memastikan bahwa semua baik-baik saja. Lagi pula, biasanya Ares sudah bangun di jam seperti ini.

Erlangga bisa melihat kalau kakaknya masih meringkuk di atas kasur, dengan selimut menutupi seluruh tubuh kecuali kepalanya. Tumben jam segini belum bangun, mungkin kecapekkan, batin Erlangga. Tak menunggu waktu lama, ia menghampiri sang kakak dan membangunkannya. Diguncangnya bahu Ares pelan. Kakaknya masih belum bangun. Guncangannya makin kuat, tapi Ares bahkan tak mengubah posisinya. Biasanya Ares mudah dibangunkan dan Erlangga kesal karena Ares tak kunjung bangun. Apa sang kakak sedang mengerjainya?

“Bang, bangun dong. Lo nggak sekolah?” Guncangannya makin kuat, mungkin terlalu kuat. Erlangga menarik selimut yang masih menutupi tubuh sang kakak agar Ares merasa terganggu dan akhirnya bangun. Tapi Ares masih tetap diam.

“Baaanggg!!” Erlangga makin brutal. Diamatinya wajah sang kakak yang masih lelap. Pucat. Wajah Ares tak berona.

“Bang, lo sakit?” Erlangga menyentuh kening kakaknya. Bukan panas yang ia dapati, tapi dingin. Sangat dingin.

“Ya ampun, Bang. Badan lo dingin banget.” Erlangga mengamati kakaknya yang bahkan tak merasa terganggu karena celotehannya sejak tadi.

Tiba-tiba Erlangga diliputi perasaan takut. Jantungnya berdenyut menyakitkan. Segala hal buruk menyambangi otaknya. Matanya memanas tanpa bisa dicegah. “Bang, lo kenapa sih? Mau ngerjain gue? Nggak lucu, Bang. Bangun.” Masih tak ada respons yang membuat Erlangga makin merasa panik. Kenapa di saat ia ingin memikirkan yang baik-baik saja, hal buruk yang selalu saja muncul. Ditepisnya pikiran-pikiran konyol itu dari otaknya.

Diperiksanya napas kakaknya, tak ada satu hembusan pun yang terasa. Diperiksanya denyut nadi di leher sang kakak, tidak ada pula. Diamatinya dada yang seharusnya naik turun, tapi ternyata tidak kali ini.

“Bang, bercanda lo keterlaluan. Gue nggak suka.” Erlangga menyangkal semua kenyataan buruk yang mungkin terjadi. Menekankan otaknya supaya mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih masuk akal. Tapi otaknya terasa buntu, tak bisa digunakan berpikir.

Erlangga yang semula berdiri di samping kasur sang kakak, mematung sejenak lantas jatuh terduduk di dinginnya lantai. Air matanya kembali menetes sederas aliran sungai saat melihat kondisi kakaknya. Erlangga sendiri tak bisa mengontrolnya. Perasaannya campur aduk. Sedih, takut, khawatir, bingung. Semua membuatnya frustasi.

Erlangga memutuskan berlari menuju kamar orang tuanya untuk meminta bantuan. Mengetuk pintunya teramat keras sampai tangannya sendiri memerah. Tapi dia tak peduli. Semoga orang tuanya masih berada di rumah. Setidaknya pagi ini, Erlangga hanya minta pagi ini saja.

“Kamu apa-apaan sih, Lang? Pagi-pagi gedor pintu keras seperti itu, tidak sopan.” Erlangga tak menanggapi protes mamanya. Ada hal yang lebih penting sekarang ini.

“Ma ...” Kirana bisa melihat wajah anaknya yang berlinang air mata. Kirana juga bisa melihat segala kekalutan dalam diri anak bungsunya itu. Kirana dapat melihat Erlangga yang kesusahan untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. Tapi wanita itu tetap diam.

“A-abang ti-tidur. Hiks. Ta-tapi gak ma-mau dibangunin.” Kirana mendengus kesal.

“Mungkin kakakmu capek, Lang. Biarin dia tidur, jangan diganggu. Mama juga capek, jangan ganggu mama dulu ya.” Sebelum Erlangga menyampaikan niatnya. Pintu di depannya sudah kembali menutup.

Erlangga bingung harus berbuat apa. Hingga tangan gemetarnya meraih ponsel di saku celana. Menekan nomor darurat yang dulu pernah diajarkan di sekolah. Semoga bantuan cepat datang. Semoga Ares masih bisa diselamatkan.

Erlangga kembali ke kamar kakaknya. Ares masih tetap di posisinya tadi. Erlangga bersandar di samping kasur sang kakak. Menangis sesenggukan di sana, sendirian. Biasanya Ares akan datang dan menenangkannya, ia harap kali ini pun sama. “Bang, kok lo jadi begini sih?” Erlangga meraih beberapa bungkus obat yang ada di lantai.

“Kenapa lo jadi bego kayak gini? Lo udah janji bakal terus ada buat gue. Terus sekarang apa buktinya, Bang?” Erlangga berucap susah payah di tengah tangisnya yang tak mau berhenti.

Erlangga membanting gelas yang ada di nakas di samping kasur, tepat di sisinya. Dia sungguh ketakutan. Dan orang yang seharusnya menenangkannya, justru menjadi alasan dari segala kegetiran hatinya.

Mungkin suara pecahan gelas terlalu keras hingga Erlangga melihat Marendra dan Kirana datang dan membanting pintu dengan keras. Tapi buat apa Erlangga peduli? Dia masih berada di posisinya, menunggu sang kakak datang dan menghentikan jeritan pilunya.

“Kamu kenapa sih, Lang?” Marendra datang mendekat. Begitu pula Kirana yang mengikuti di belakangnya. Mereka jelas khawatir karena kondisi anak bungsunya. Erlangga benar-benar terlihat menyeramkan, menangis sangat keras.

“A-abang. Di-dia ti-tidur. Hiks hiks. Ta-tapi gak na-napas.”

Marendra kaget dengan penuturan tak jelas anaknya. Dia mendekati tubuh kaku Ares, lantas memeriksanya. Ternyata Erlangga benar. Tidak ada napas, denyut nadi, denyut jantung, bahkan kehangatan yang tersisa dari tubuh putra sulungnya.

“Res, Ares. Kamu kenapa?” tanya Marendra panik di saat tangisan Erlangga makin keras. Kirana mematung di tempatnya. Wanita itu tak tahu harus melakukan apa. Dari penglihatannya, sepertinya keadaan sedang tidak baik.

Suara ketukan di pintu depan terdengar nyaring. Kirana bergegas menghampiri karena merasa Erlangga dan suaminya tak akan beranjak dari tempat mereka saat ini. Tangannya gemetaran saat mempersilahkan beberapa petugas berseragam rumah sakit masuk ke rumahnya, lantas menuntun mereka ke kamar putra sulungnya.

Petugas-petugas itu bergerak cepat dan gesit. Walau kemungkinan sangat kecil mereka tetap berusaha. Salah satu dari mereka berkata kalau ini efek dari obat depresan. Ares tak merespons, tapi bukan berarti dia mati. Masih ada kemungkinan walau sangat kecil, tambah mereka.

Saat mereka mengangkat tubuh Ares keluar, Erlangga ingin ikut. Tapi, dunia terasa berputar di sekelilingnya. Pandangan matanya mengabur saat sang mama mendekat dan menanyai kondisinya. Dia masih bisa merasakan sang papa yang mengguncang bahunya pelan, seakan ingin memulihkan kesadarannya. Tapi Erlangga tak ingin sadar kalau hanya untuk mendapati kenyataan mengerikan ini.

Hingga akhirnya pandangannya gelap dan tubuhnya melemas. Dia tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Dia juga tak mau tahu apa yang terjadi. Dirinya merasa terserap ke dalam lubang hitam. Lebih baik seperti ini selamanya daripada bangun dan menyadari kalau Aresnya sudah pergi. Menyadari kalau sosok yang selalu ada untuknya telah tiada. Menyadari kalau sosok kakak yang melebihi segalanya, telah memilih untuk menyerah.

•••

apakah masih ada harapan?
sampai jumpa di tahun baru nanti >.<

mundaneWhere stories live. Discover now