delapan

3.3K 350 12
                                    

•••

Butuh waktu setidaknya satu minggu untuk Erlangga kembali sekolah. Satu minggu pula hidupnya terasa mati. Ia tak berbicara sepatah kata pun. Papa dan mama pada awalnya selalu mengajaknya berbicara. Tapi karena tak pernah mendapat respons, akhirnya mereka menyerah juga. Marendra dan Kirana kembali ke dunianya yang semula. Bahkan lebih sibuk dari sebelumnya. Mungkin mereka ingin mengalihkan kesedihan. Kalau mereka betulan sedih, pikir Erlangga.

Lain dengan Erlangga. Anak itu berubah, tak lagi sama. Tampilannya sangat kusut. Wajahnya tak lagi secerah sebelumnya. Binar ceria yang terpancar dari matanya telah hilang.

Erlangga merasa banyak orang memperhatikannya. Banyak yang memberikan tatapan penuh duka cita, tapi lebih banyak lagi yang mencibir. Entah rumor dari mana, mereka menganggap Ares meninggal karena ketergantungan narkoba. Erlangga merasa marah luar biasa, tapi dia bisa apa?

Erlangga merasakan lengan atasnya dicengkeram dengan kuat. Lalu ditarik entah ke mana. Lagi-lagi Erlangga hanya diam.

“Ternyata si cupu masih berani sekolah.” Ternyata Robby dan kawan-kawannya.

“Kenapa lo? Mendadak bisu?” ucap Robby disusul gelak tawa teman-temannya. Robby menarik rambut Erlangga keras. Memaksa Erlangga agar memandangnya. Tapi yang Erlangga berikan hanya tatapan kosong. Anak itu bahkan tak meringis kesakitan seperti biasanya.

“Atau mendadak gila karena ditinggal abang kesayangan lo itu?” Erlangga tak suka orang-orang membicarakan keburukan Ares. Apalagi menghinanya terang-terangan.

“Wah-wah-wah, udah bisa marah nih ceritanya?” Robby menanggapi tatapan mematikan yang Erlangga berikan. Erlangga acuh tak acuh akan ucapan teman sekelasnya itu. Karena orang-orang di depannya mendadak diam, Erlangga memutuskan pergi. Toh sudah tidak ada urusan lagi di antara mereka.

“Yang ngebolehin lo pergi siapa, cupu?!” Robby menyentak tubuh Erlangga dengan kasar ke dinding toilet. “Ngelunjak ya lama-lama!! Kasih pelajaran!” titahnya pada tiga temannya yang lain.

Dua di antaranya bergerak cepat memegang tangan Erlangga masing-masing satu agar anak itu tak berontak. Sedangkan salah satu di antara mereka, yang bertubuh paling besar, mulai memukuli Erlangga. Di bagian tubuh yang tertutup seragam tentunya, terutama perut dan dada. Agar tak seorang pun tahu perbuatan keji mereka. Erlangga juga tak berontak, ia menikmati seluruh rasa sakit yang ada.

Semakin terasa sakit saat kenangan tentang kakaknya muncul. Biasanya Ares yang menolong mereka dari tindakan nakal teman-temannya. Tapi kini siapa yang bisa? Ares sudah tiada. Kebrutalan Robby dan teman-temannya makin menjadi. Ares sudah pergi, pelindung bagi Erlangga pun raib sudah. Orang-orang itu kini makin berani melakukan hal jahat pada adik yang ia tinggalkan.

Di tengah kesakitannya, Erlangga masih dapat melihat dengan jelas saat dua orang memasuki kamar mandi. Robby terperanjat sesaat, lalu memutuskan untuk langsung pergi karena tak ingin dilaporkan ke guru BK. “Lain kali nggak usah sok berani. Nggak kayak abang kesayangan lo yang udah mati itu.” Mereka meninggalkan Erlangga dengan sejuta luka. Bukan hanya luka fisik, tapi juga luka yang menganga di hatinya. Mereka mengingatkan kalau Ares sudah pergi, untuk selamanya.

Sebenarnya dua orang yang baru saja datang itu bisa membantu Erlangga. Hanya saja mereka memilih tidak melakukannya. Mereka egois dengan mencari aman. Tanpa peduli kalau Erlangga sangat membutuhkan bantuan kecil dari mereka, ya hanya sedikit. Tapi sayang, mereka sudah buang muka.

mundaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang