12. Kehilangan

640 52 8
                                    

12

Empat cangkir dengan bau ramuan menyengat sore ini kembali Scorpius bersihkan. Dua kali lebih banyak dari tadi pagi. Ia hafal seberapa besar dosis ramuan itu untuk seseorang. Tapi bagi ibunya semua itu tidak ada apa-apanya. Sejauh ini dirinya hanya sekadar mematuhi perintah ayahnya. Beberapa kali Scorpius tidak diperbolehkan masuk ke kamar utama. Jika sudah saatnya sang ibu meminum ramuan, ia akan bergegas menuju dapur meracik beberapa bahan dan menuang berbagai cairan sesuai takaran. Jika sudah selesai, semua ramuan itu hanya perlu ia letakkan di atas sebuah meja kecil. Persis berada di sisi pintu kamar kedua orangtuanya.

Berulang dan terus beruang. Selesai dengan pekerjaannya, Scorpius sejenak mengistirahatkan dirinya di sebuah kursi di ruang keluarga. Sorot matanya masih belum lepas ke arah pintu kayu itu. Dua orang di dalam belum juga keluar. Hanya sempat ayahnya tadi keluar menyerahkan cangkir kotor. Mengucapkan terima kasih padanya lantas kembali masuk.

Scorpius tahu kondisi ibunya semakin tidak baik. Semua seolah berubah. Ayahnya cenderung tertutup dan murung sepanjang hari. Ia tidak lagi bekerja. Mondar mandir di rumah dan lebih lama menghabiskan hari di kamar. Mungkin jika dapur ikut ada di dalam kamar utama, ayahnya mungkin sama sekali tidak akan keluar. Scorpius hanya akan sendiri di rumah itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka.

Berkat semua kejadian itulah Scorpius sesekali menuangkan keluh kesahnya pada secarik kertas. Menujukannya kepada Albus tapi selalu urung ia lakukan. Cukup ia simpan. Scorpius mungkin saja bisa mengirimnya, tapi dalam hati kecilnya ia ingin memberi kesempatan Albus memperbaiki hubungannya dengan sang kakak lebih dulu. Saat dirasa cukup untuk mengirimkan semua suratnya, Scorpius selalu saja tidak bisa. Separuh kehidupannya berakhir untuk mengurus keperluan sang ibu hingga melupakan seorang Albus.

"Bagaimana kabarmu, Albus? Semoga suatu saat kita akan bertemu lagi." Ungkapya setelah melipat surat ke delapannya untuk Albus.

"I'm sorry, Scorpius."

Ia terperanjat. Di ambang pintu kamarnya tengah berdiri Draco. Matanya sayu dengan lingkar hitam pekat menandakan ia berada di titik terlelahnya.

"Kenapa kau di sini, Dad? Mum-"

"Mum sedang tidur setelah meminum ramuanmu. Kau hebat, nak. Dad yakin kau akan jadi ahli ramuan saat di Hogwarts nanti."

Scorpius tertunduk malu atas pujian ayahnya. "Aku hanya meraciknya, Dad. Sampai membuatku hafal."

Draco melirik senang pada salah satu surat berlogo sekolah sihir terkemuka di atasnya. Tergeletak di meja Scorpius. Rasa bersalahnya kembali muncul. Saat ini telah masuk bulan Agustus. Putranya sama sekali belum memiliki semua barang-barang yang akan ia gunakan saat sekolah nanti.

"Nanti kalau Mum sudah mulai membaik, kita akan pergi membeli tongkat, kuali, buku-buku, jubah, sarung tanganmu, dan semuanya ke Diagon Alley."

Scorpius hanya bisa tersenyum. Ia menunjukkan beberapa tumpuk buku lama di atas kasurnya. Ada buku karya Bathilda Bagshot, Miranda Goshawk, Adalbert Waffling, Newt Scamander, dan beberapa buku lama yang wajib dimiliki siswa tahun pertama.

Draco tahu itu miliknya.

"Aku sudah dapat. Jubah juga sudah ada, sarung tangan? Aku rasa masih ada di lemari pakaian lamamu, Dad. Kuali, bukankah di ruang ramuan kita sudah ada banyak ukuran. Teleskop, burung hantu, tidak jadi masalah. Dan tongkat, ya, tahun lalu Mum janji akan memberikan tongkat lamanya untukku. Aku rasa tongkat itu akan cocok denganku, Dad-"

Maksud Scorpius hanya tidak mau merepotkan ayahnya. Itu saja.

"So, jangan dipermasalahkan, Dad." Tukasnya sembari tersenyum.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang