Halte

1K 154 10
                                    

Langkah yang awalnya statis, makin cepat, lama-kelamaan berlari, diiringi rintik hujan menumbuk tanah, kemudian menderas. Burung gagak berkoak berisik di langit mendung, terbang menerjang derai air hujan. Semerbak tanah yang terguyur rerintik mengguar kemana-mana, terinjak kaki-kaki menghentak terburu mencari perlindungan. 

Kota ini sedang merasakan guyuran hujan tiba-tiba di musim panas yang terik.

Seorang remaja laki-laki berlarian menuju sebuah halte, melompat; melewati genangan; elok sekali. Tasnya dijadikan penutup kepala, takut-takut kehujanan dan sepulangnya sakit kepala. Umpatan halus terlontar mulus dari bibirnya.

'Bukan begini seharusnya,' pikirnya ringan.

'Harusnya aku sudah mencapai pagar rumahku tanpa hambatan seperti hujan. Bukan malah begini.'

Tubuhnya menerjang penghujung sisi halte, melompat tepat pada tempat kosong, menabrak sedikit seorang pria yang berdiri di depannya dan menggumamkan maaf. Harusnya dia tidak perlu ikut-ikutan rusuh berhimpit bersama lautan manusia yang meneduh di halte penuh sesak ini dan menunggu bus menuju tempat mereka tinggal.

'Kalau saja aku tidak meminjamkan mobil pada bocah mengesalkan satu itu, mungkin aku sudah tidur di rumah,' batinnya lagi menggerutu.

Seragamnya sudah setengah basah, lengannya memeluk dirinya sendiri, mencari kehangatan walau tidak menghasilkannya barang sedikit. Ia melirik usil orang-orang yang saling himpit.

'Ramai sekali,' pikirnya bodoh. Salah siapa kau pulang tepat saat jam pulang kerja? Dasar Jaehyun.

Bola matanya masih bergerak nakal untuk meneliti satu persatu manusia yang berjejer menghindari hujan. Sampai pandangannya berhenti pada seorang pemuda yang baru saja menginjak penghujung halte bersebrangan dengannya. Terlihat sekali tubuhnya basah
kuyup—entah karena dia tidak ingin mengorbankan tas di pelukan sebagai penutup kepala atau apa—bibir pemuda itu mengerucut, mungkin ia kesal harus berakhir kehujanan.

Diam-diam Jaehyun mengagumi. Betapa lucunya sosok di sebrangnya satu itu. Betapa imutnya, betapa manisnya, betapa cantiknya, betapa ayunya, betapa- betapa lucunya, betapa cantiknya, betapa man—bahkan Jaehyun lupa sudah memikirkan ulang kalimat yang sama.

"Mungkin aku sudah cukup beruntung," cengirnya pada diri sendiri. Jaehyun yakin dia sudah dianggap gila oleh beberapa orang di sini.

"Yah.... Bisa jadi hanya kali ini."

Miris memang, mengingat Jaehyun hanya dapat memandang seorang Lee Taeyong dari kejauhan saja. Seingatnya memang begitulah mereka berdua.

Pandangi saja. Tidak perlu dekat-dekat. Bukan siapa-siapanya

Tapi Jaehyun tidak tahu, manusia indah di sebrang sana berpikiran sama seperti dirinya atau tidak. Jadi, jelas belum pasti. Mungkin hanya Jaehyun yang sering menatapinya di kejauhan, mungkin.

"Ah, sudahlah...," Jaehyun menghela napas separuh pasrah. Bukan saatnya bagi Jaehyun untuk meratapi garis takdir cintanya yang bodoh ini.

Sepersekian detik sebelum Jaehyun mengalihkan pandangannya pada sepatu putihnya yang berlumpur, matanya membola. Tolong pegangi Jaehyun, sepertinya setelah semua ini, ia tidak sadarkan diri—sebab pemuda di sebrang sana baru saja mengalihkan pandang ke arahnya—hal yang tentu saja berunsur ketidak sengajaan, dan Jaehyun senang sekali. Ia diam sembari bersyukur, mencoba menentramkan gemuruh jantungnya agar lebih tenang sedikit sembari merapal doa semoga ia berkedip dengan benar.

Once In A Blue Moon [JAEYONG]✅Where stories live. Discover now