Manusia Datang dan Pergi Silih Berganti

47 7 4
                                    

Oleh: mazarine4

###

Namaku Kirana, kelas 3 SD. Anak miskin berambut gimbal, berbaju kumal, dan bersendal jepit kebesaran yang bertambal. Kalau siang aku berjualan makanan. Kalau sore aku lari di pematang dengan teman-teman. Menjelang petang sampai pukul tujuh lewat sedikit aku pergi mengaji. Selepas itu belajar sebentar lalu tidur.

Bapakku bukan seperti bapaknya teman-temanku. Bapakku tidak pakai seragam rapi, berangkat mengayuh sepeda ontel ke balai desa. Bapakku juga tidak pakai kemeja kotak-kotak, masuk ke gedung berkaca banyak di belakang sekolah. Bapakku berkaus lusuh, memakai celana pendek model rombeng, dan sepatu bot. Hari ini turun ke sawah, besok mencari rumput. Lusanya naik ke atas genteng, lusanya lagi turun ke dalam sumur. Serabutan.

Kalau ibuku nyaris tak pernah meninggalkan rumah butut kami. Kaki Ibu cacat sebelah sejak lahir, sementara sebelah lagi sudah rapuh oleh usia. Ibu kesulitan berjalan. Setiap subuh Ibu bangun untuk memasak dagangan. Nantinya aku yang berdagang sambil berangkat sekolah, berdagang di sekolah, dan berdagang keliling kampung selepas pulang sekolah. Kalau dagangan habis, aku boleh bermain. Kalau tidak habis, aku bantu bersih-bersih rumah-rumah gedong untuk dapat uang, mengganti uang dagang yang tidak didapat. Barang tak habisnya kami jadikan lauk makan malam.

Aku anak bungsu. Kakakku lima, laki-laki semua. Yang paling besar si perjaka tua, pergi merantau ke Jakarta. Suka mengirim kabar tapi tidak pernah pulang. Yang kedua bekerja di pembangunan. Tapi tidak berangkat kalau tidak ada pekerjaan (pembangunan tidak selalu ada sepanjang tahun). Yang ketiga dengan yang keempat anak kembar, 5 tahun lebih tua dariku. Disuruh pergi belanja ke pasar setiap pagi, tapi hampir selalu pulang bersama laporan warga pasar soal ayam kabur, atau telur pecah, atau coret-coret di dinding kantor camat, atau lainnya. Duo bandel yang suka bikin Ibu marah-marah, Bapak berpuluh kali minta maaf pada orang bersangkutan, dan Kakak Kedua memohon-mohon pada orang-orang setempat supaya mau meminjamkan sepeser uang agar bisa bayar ganti rugi.

Kakakku yang terakhir sudah kelas 6 SD. Sebentar lagi lulus dan berhenti sekolah, seperti kakakku yang lain karena keterbatasan biaya. Kakakku yang ini punya otak paling encer. Ditambah menurut penilaian tetangga-tetangga, parasnya paling rupawan di keluargaku. Rambutnya hitam legam berkilau indah dan bergelombang sendiri (kontras dengan rambut anggota keluarga lain yang lurus, kusam, dan kusut). Rambut kakak kelimaku persis seperti rambut almarhum kakek dari bapak. Dia punya mata bulat besar mirip Ibu. Perawakannya kurus tinggi berhidung mancung. Sekali lagi mirip almarhum kakek yang katanya peranakan Belanda. Tapi kulitnya matang eksotis, manis sekali kalau tersenyum dengan lesung pipi dan deret rapi gigi putihnya. Anak favoritnya ibu-ibu satu kampung, favoritku juga. Bukan sebab dia tampan—persis seperti namanya—tapi sebab, pembawaannya paling ramah dan kalem dari yang lain. Ia membantuku belajar, dan memarahi bocah-bocah kelas 4 yang merundungku. Kakakku nomor 5 namanya Ranggi.

Kalau aku ombak, Ranggi adalah buih. Kalau aku langit, Ranggi adalah bintang. Kalau aku bunga, Ranggi adalah mahkota. Intinya Ranggi adalah pelengkap, penguat, dan pemercantik bagiku. Suatu hari, aku seperti menemukan perumpamaan lain untuk diriku dengan Ranggi dari sobekan kertas pembungkus gorengan yang sedang membahas pelajaran Bahasa Indonesia. Dari tulisan itu, barangkali aku boleh mengatakan kalau aku dan Ranggi adalah kausa-litas (tidak jelas siapa yang sebab, siapa yang akibat), untuk menekankan betapa aku dan Ranggi cocok dan saling melengkapi. Lihatlah. Nama kami bahkan serasi.

Pada suatu sabtu malam, Bapak sibuk menggosok bot kesayangannya. Kakak kedua, Genta, sedang membaca buku bekas soal desain. Si kembar, anak nomor 3 dan 4, Bayu dan Banyu dihukum mencuci banyak piring karena mereka berbuat nakal lagi (mereka mengerjakannya sambil bercanda). Ranggi sedang memijiti Ibu. Aku yang baru pulang mengaji sedang mencoret-coret kertas. Aku baru belajar menggambar pohon ki hujan di sekolah tadi.

Abschied Where stories live. Discover now