Kosong

15 3 2
                                    

Oleh : salmaazma

#

[1/1]

Panca indra melambangkan kesempurnaan. 

Lima unsur penting yang sekiranya dianggap normal jika dimiliki. 

Seseorang akan dikucilkan hanya karena tidak memiliki salah satunya. 

Sama sepertiku. Dunia gelap gulita sudah menjadi pemandangan yang disuguhkan. Baik saat mata terpejam, pun membeliak lebar. 

Yang kulihat hanya satu. Hitam. 

Sering kudengar kata buta dengan tambahan umpatan kasar saat aku tidak sengaja menyenggol sesuatu, menabrak sesuatu, mengacaukan sesuatu, sekalipun niat baik yang berakhir kacau sebagai endingnya. 

Kata seorang wanita dengan suara lembut dan lumayan berat--yang kuyakini sebagai nenekku--aku tidak sendiri. Meskipun tidak pernah sekalipun aku mendengar dua suara yang mengaku dirinya adalah dua perantara yang membuatku ada, sebagai buah cinta yang dilimpahi kasih dan cinta. 

Mungkin aku begitu merepotkan. 

Dan menjadi aib, mungkin? 

Tidak apa-apa, jika saatnya aku bahagia maka tidak ada yang bisa menjadi penghalang. Begitupula jalan terjal yang harus kutaklukan lebih dulu. Usaha lebih keras agar Tuhan mau memberikan pandangan kasih-Nya. Aku tahu, aku begitu serakah. Napas gratis tiap sekon semenjak terlahir saja sudah tidak bisa kubalas dengan apapun. Dan dengan tidak tahu dirinya aku kembali meminta sesuatu yang lebih. 

Salahkan sifat manusiawiku yang sering memberontak. 

Tidak ada kata 'tidak adil' jika Tuhan yang memberikan. Aku yakin semuanya menyimpan kebahagiaan indah diujung. Aku hanya perlu bersabar. 

Kakiku masih bisa dipakai untuk berjalan di trotoar yang katanya hanya boleh dilewati oleh pejalan kaki. 

Tanganku masih bisa digerakkan dan membantu menuntunku dengan berbekal sebuah tongkat, panjangnya mungkin hampir sepinggangku. 

Aku sudah putus sekolah, entah kelas berapa terakhir yang kusinggahi dan menumpang belajar. Lima atau enam sekolah dasar, sepertinya. 

Lumayan berliku saat belajar di sana. Tidak ada seorang pun teman yang mau mengajakku bicara kecuali ada yang mereka butuhkan. Mengikuti pelajaran pun rasanya luar biasa. Telinga begitu kuandalkan saat itu, bersama dengan jari yang mencoba membaca buku yang memakai huruf braille. Itupun jarang karena sekolahku umum.

Untungnya ada Bu Wulan. Seorang guru yang biasa memberiku perhatian dan bimbingan lebih. Masih terngiang di telinga suara merdu halusnya saat memanggilku dan berbagi cerita dengan semangat berapi.

Kubayangkan wajahnya secantik para princess baik hati bak di negeri dongeng. Tanpa mahkota dan dress mewah tentunya. 

Suara lembutnya mendinginkan kuping yang sempat memanas setelah teman sekelas sedikit mengataiku. Ah, betapa sensitifnya aku. Di saat itu, Bu Wulan akan mulai bertanya dan memintaku berbagi cerita setelah dirasanya wajahku dalam kategori pundung. Memberiku asupan semangat dengan cerita yang tak kunjung habis. 

Jarang sekali cerita Bu Wulan terulang-ulang, seingatku. 

Semuanya selalu terdengar menarik dan akan ada selipan motivasi hidup di sana. Kadang dia tertawa dan bilang kalau ekspresi wajahku cepat berubah seperti bunglon. Pengin sekali aku melihat wajah berderai tawanya. Lagi-lagi aku hanya bisa membayangkan dan mengubur dalam-dalam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Abschied Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang