Bab 3

27 1 0
                                    

Tepat di gedung menjulang tinggi yang terletak di tengah kota, sudah bisa dipastikan kalau gedung tersebut adalah perusahaan yang besar. Azzura salah satu yang berada di dalamnya sedang tertunduk malu menghadap seorang lelaki tua yang berpenampilan rapi. Lelaki itu terlihat sangat beribawa dengan seragam kantor bak direktur utama sebuah perusahaan ternama. Wajahnya memerah terlihat seperti sangat marah sekali, tangan kanannya sibuk mengetuk-ngetuk bagian otaknya seraya berpikir, sementara tangan kirinya memegang flashdisk sembari di ayunkan.

"Maaf, Pak," sekali lagi Azzura meminta maaf setelah berkali-kali sebelumnya melakukan hal yang sama.

"Minta maaf itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Solusi kamu bagaimana?" tanya lelaki tua tersebut.

"Tolong berikan Azzura satu kesempatan lagi, Pak! Boleh minta tambahan waktu untuk menyelesaikannya?" Azzura menatap Pak Hendrik dengan wajah memelas.

"Mau berapa lama?" tanya Pak Hendrik menatap salah satu penulisnya ini.

"Bagaimana kalau 1 bulan, Pak?" Azzura memberanikan menatap wajah Pak Hendrik dengan hati masih khawatir.

"1 bulan? Lama sekali itu. Saya tunggu 1 minggu sudah selesai," ujar Pak Hendrik membuat keputusan sepihak.

"Baik, Pak." Azzura akhirnya hanya bisa pasrah saja.

***

Azzura merasa sendiri, tidak ada yang menemani. Pikirannya kacau dan tidak karuan. Di saat seperti ini harusnya ada orang tempat mengaduh segala gundah yang dirasa. Namun, tidak ada satu pun orang yang harus dipercaya. Mau cerita dengan Zahra, sepertinya percuma saja, harusnya Azzura yang mengerti perasaan Zahra, jadi semuanya tidak mungkin. Perihal pekerjaan dan hati menyatu lalu siapa yang harus mengerti?

Baru bergabung saja sudah komunikasi tidak lancar. Bagaimana kalau sudah lama? Azzura selalu saja memikirkan Satrio. Sementara deadline tetap harus dikerjakan. Azzura harus focus!

Kamu ke mana? Di sini ada aku yang sedang menunggu. Iya! Menunggu kamu. Menunggu kabar dan semua tentangmu. Kenapa baru saja dimulai aku sudah merasa sepi. Sepi tanpa sapaan manjamu di ponselku, tentang kamu yang selalu mengingatkan aku semua hal dan sangat mengkhawatirkan aku. Seketika kamu berubah, aku tidak tahu, aku saja yang merasa kamu berubah atau memang kamu sudah berubah. Lalu, ke mana janji itu kamu letakkan?

***

Satrio merenggangkan seluruh tubuhnya, terasa sangat lelah sekali. Semalam ia pulang pukul 02.00 Wib dini hari. Sampai rumah langsung tidur saja tanpa peduli yang lain karena memang kantuk yang luar biasa. Matanya tiba-tiba menyipit silau karena sinar matahari yang sudah menjulang tinggi. Terkejut dan langsung meraih ponselnya untuk melihat jam. Bukannya jam yang terlihat malah banyak sekali notifikasi masuk dari Azzura. Seketika itu juga Satrio panik. Melihat jam sudah pukul 13.00 Wib. Langsung mencoba menghubungi Azzura tetapi tetap saja nihil. Makin gusar hati Satrio saat ini.

Tidak menunggu lama, saat ini Satrio sudah berada di depan rumah Azzura. Beberapa kali Azzura mengetuk pintu seraya memanggil tetapi tidak ada satu pun orang yang keluar. Setelah usaha kisaran 10 menit, akhirnya ia pun yakin kalau di ruma ini sedang tidak ada orang. Lalu, ke mana Azzura yang notabanenya anak rumahan?

Niat hati ingin memberikan kejutan langsung ke rumah dan meminta maaf agar Azzura tidak marah tetapi malah Satrio yang terkejut dan kebingungan kini. Satrio pun langsung memainkan ponsel seraya menghubungin Azzura. Setelah telepon tersambung dan berhasil diterima, ada rasa lega dari diri Satrio walaupun yang di dengar suara yang sangat ketus.

***

"Kenapa kamu di sini, Sayang?" Satrio mengenggam tangan Azzura begitu khawatir.

Pandangan Azzura datar. Hatinya terasa bimbang. Ia pun kalimat apa yang harus diucapkan agar semuanya menjadi baik-baik saja dan juga terasa lega. Diam dan menatap dnegan datar hanya itu yang dilakukannya.

"Kok diam saja sih?" tanya Satrio lagi.

"Aku sedang pusing." Azzura melepaskan genggaman tangan Satrio lalu mengalihkan pandangan.

"Kamu sakit? Kalau pusing di rumah dong. Jangan di sini, Azzura!" ucap Satrio begitu khawatir.

"Kamu khawatir dengan aku?" tanya Azzura menaikkan salah satu alisnya.

Pemandangan yang indah dan sejuk sudah terlihat di depan mata Azzura dan Satrio. Pohon-pohon yang menjulang tinggi dan berwarna hijau itu sedikit membuat mata Azzura segar. Air danau yang mengalir dnegan tenang membuat Azzura bisa ikut sedikit tenang dan lega. Setidaknya saat ini ia sudah bisa mencuci mata sebentar saja.

Beda halnya dengan Satrio yang masih saja gelisah dan khawatir. "Iyadong, pasti aku khawatir sama kamu. Kamu kan orang terpenting aku," jawab Satrio berusaha tersenyum.

"Kamu tahu jadwal aku hari ini apa?" tanya Azzura tanpa memandang Satrio.

Satrio tampak berpikir sejenak. "Hmm ...eh hmm –"

"Sudahlah gak usah dibahas. Ayo antar aku pulang," ujar Azzura lalu melangkahkan kaki terlebih dahulu.

"Aku minta maaf," ucap Satrio yang masih duduk lalu mengejar Azzura.

Terima kasih yang sudah membaca. Jangan lupa vote dan komentarnya. Kritik dan saran sangat diterima. 💕

Salam Hangat

Shara Pradonna

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 01, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ketika Buku dan Motor BerbicaraWhere stories live. Discover now