Alfreya Fransisca

11 0 0
                                    

Ponpes Al Umar, 13 Juli 2018

Pagi itu suasana di pondok pesantren Al Umar sangat sepi, dikarenakan para santrinya pulang ke rumah masing-masing setelah hari raya Idul Fitri. Seorang gadis berhijab manis tampak mondar-mandir tak tentu arah di depan pesantren, sedangkan ibu gadis tersebut tengah memencet bel di salah satu rumah dekat pesantren, menunggu sang pemilik rumah membukakan pintu. Sementara sang Ayah tampak masih dalam kursi kemudi, seperti enggan untuk turun.

“Bunda, kok lama banget sih?” tanya gadis tersebut pada ibunya.

“Sabar ya nak, mungkin bu Nyai sedang pergi. Afra nanti nggak boleh ngrepotin bu Nyai ya, jangan ngrepotin mbak-mbak juga. Afra harus bisa jaga diri, ingat pesan Bunda ya nak,” jawab sang Bunda sambil menasehati putrinya.

“Iya Bunda, toh juga Afra udah besar Bun. Jangan terlalu khawatirin Afra, Bunda di rumah hati-hati ya. Ayah jaga Bunda baik-baik ya, sampein salam Afra ke Bang Zei jangan lupa,” ucap gadis itu. Namun tak ada jawaban dari sang Ayah, Afra si gadis tersebut pun menoleh dan mendapati Ayahnya yang masih dalam mobil dan tampak membuang muka. Afra pun berjalan mendekati sang Ayah.

“Ayah, maafin Afra ya, Afra udah nggak nurut sama Ayah. Afra tuh pengen banget mondok di sini Yah. Ayah yang ikhlas ya, biar nanti ilmu yang Afra dapat jadi barokah. Mondok itu bukan berarti cita-cita yang pernah Afra sampaikan ke Ayah bakalan hilang, banyak kok Yah anak-anak yang bisa diterima di universitas terbaik meskipun statusnya adalah seorang santri. Do’ain Afra ya Yah, biar Afra makin rajin belajarnya terus Afra bisa mewujudkan cita-cita Ayah, Afra sayang Ayah,” ucap Afra lirih lalu memeluk Ayahnya.

Namun tanpa disadari gadis tersebut, sang Bunda telah menitikkan air matanya mendengar suara putrinya. Berharap suaminya akan luluh dengan permintaan putri bungsu mereka.

“Ya, semoga kamu bisa menepati ucapanmu, Ayah tunggu kepulanganmu 3 tahun lagi. Semangat Fra, Ayah mengizinkanmu. Maafkan Ayah jika Ayah terlalu membebanimu.” Sang Ayah balas memeluk dan mencium pucuk kepala putrinya.

“Ayah.. Terima kasih.” Afra pun menangis dalam pelukan Ayahnya.

“Kembali kasih nak, Bunda sini,” ucap sang Ayah, mereka bertiga berpelukan di depan pesantren.

Tak lama kemudian, datang 2 orang santriwati yang sepertinya pulang belanja dari pasar, mereka membawa 2 tas kebo, ragu-ragu mereka masuk gerbang melihat sebuah keluarga yang tengah berpelukan. Saat mereka akan berbalik arah, Riani sang Bunda Afra menoleh dan memberi senyuman manis pada mereka.

“Sebelumnya maaf mbak, kalau boleh tau bu Nyai dimana ya mbak?” tanya Riani.
“Iya bu, ndak papa. Tapi mohon maaf sebelumnya, bu Nyai sedang ada keperluan di luar, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang santriwati.

“Iya mbak, saya Riani Larasati dan itu suami saya Adrian Fransisco, dan ini putri saya Alfreya Fransisca. Bisa minta tolong mbak, Afra ini mau mondok di sini, niatnya kami mau sowan dulu ke bu Nyai. Tapi yah, mbak nya bilang bu Nyai sedang ada urusan,” ujar Riani.

“Iya bu, ndak papa. Ayo bu, pak, mbak masuk dulu. Nanti saya kenalkan mbak nya sama teman-teman yang di dalam. Ndak usah sungkan mbak, mari masuk. Ya beginilah keadaan pondok kami yang sederhana,” ucap santriwati tadi.

“Mbak, maaf sebelumnya. Saya sebenarnya ada urusan di luar hari ini, saya titip Afra dulu nggak papa kan? Nanti siang saya kesini lagi, In syaa Allah,” ucap Rian, ayah Afra.

“ Iya pak, ndak papa,”

“Ya sudah mbak, kami permisi dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Riani.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah,” koor 2 santriwati tersebut dan Afra.

Setelah kepergian orang tua Afra, mbak santriwati pun mengajak Afra untuk masuk ke dalam sebuah kamar.

Akhir Kisah Kang SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang