Sad

19 1 0
                                    

Hai semua...
Ini cerita keduaku dengan akun baru
Sekedar tulisan hangat untuk seorang teman

Semua tokoh hanya reakayasa

Semoga kalian suka

Maafkan jika menemukan typo yang bertebaran, karena aku bikinnya dadakan

Ceritanya sedikit angst

Selamat membaca

.
.
.



Rico berdiri di depan jendela apartemen pamannya yang berada di lantai sepuluh. Matanya menyipit melihat jejeran gedung di depannya, beralih pada jalan umum yang terbentang luas di seberang sana.

Gelapnya malam membawa pemuda itu pada serpihan kenangan tentang senyum seorang gadis, yang selalu bisa menenangkan hatinya. Dengan alasan itu, ia berdiri di sini, berharap senyum itu akan selalu bisa tersaji. Dalam hati Rico berkata, "Meskipun tak bisa menikmati senyum itu di bumi, setidaknya aku bisa melihatnya dari langit."

Rico membulatkan tekad di dadanya, memegang pagar pembatas balkon dengan kuat. Ia sudah mempersiapkan semuanya. Surat terakhir yang ia tulis sebagai pesan terakhir untuk seseorang yang menjadi alasan baginya untuk memilih jalan ini.

-
Terekam dalam otaknya perkataan dokter yang merawat Vina di rumah sakit.
"Sangat sulit mencari donor hati untuk temanmu...."

"Bagaimana jika saya yang menjadi donornya?"

Dokter itu memasang wajah terkejut, menggelengkan kepala tak percaya.
"Kami tidak bisa mengambil donor hati dari orang yang masih hidup"
-

Rico bukan orang yang mudah putus asa, tidak ada alasan yang bisa membuatnya memilih jalan mengakhiri hidup. Kecuali itu dengan Vina, satu-satunya sebab lemahnya hati dan ego yang ia miliki. Satu-satunya gadis yang tetap ia pertahankan untuk terus berada di dunia, meski ia harus menukar nyawanya untuk kesempatan hidup yang lebih lama bagi Vina.

Mata Rico terpejam, ia bisa merasakan angin dingin mulai menerpa wajahnya, bergerak dari bawah ke atas tubuhnya. Walau angin itu bergerak cepat, tubuh Rico justru melesat tak kalah cepat ke bawah oleh gravitasi bumi.

Tubuh kecilnya membentur halaman apartemen yang berlapis beton kuat, sebelum ia sempat memikirkan sakitnya jatuh dari ketinggian, dengan senang hati malaikat maut mencabut ruhnya, sebelum tubuhnya benar-benar jatuh dan terkapar di bawah dengan darah yang mengalir deras dari bagian tubuhnya yang terlihat remuk redam.

.

.

.

Di sebuah rumah sakit swasta.

Vina melihat sekuntum bunga tulip di sisi pembaringannya. Hampir setiap pagi, saat ia membuka mata, bunga cantik warna putih itu berada di nakas dekat ranjangnya. Setiap kali ia bertanya tentang siapa yang membawakannya bunga itu jawaban yang sama selalu membuatnya semakin ingin tahu, lalu mereka yang mendengar pertanyaan Vina berikutnya akan memilih pergi, atau mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan.

Seperti pagi ini, di jam yang sama saat bunga itu sampai di ruangan tempat Vina dirawat, ia melihat Aldi datang membawa tumpukan buku yang entah sudah berapa banyak. Sampai ruangannya terasa seperti perpustakaan daripada kamar inap rumah sakit.

Vina jadi berpikir jika selama ini yang membawakannya bunga tulip itu adalah Aldi, mengingat jawababan dari para perawat dengan kata 'temanmu' setiap kali Vina bertanya perihal bunga itu.

Aldi tersenyum ke arahnya, sebelun meletakkan buku-buku itu di lemari yang berada di sudut dekat sofa di ruangan itu.

"Apa kau yang membawa bunga ini?" tanya Vina.

HeartWhere stories live. Discover now