Bab 5 : Menemui Aruna

786 72 17
                                    

Kau akan menyesal setelah kehilangan. Walaupun sesuatu yang hilang itu bahkan tidak pernah kau miliki sama sekali.

***

Kenyataan bahwa Gabriel tidak tertebak bukan lagi hal yang mengejutkan bagi Edgar.

Cowok itu menduduki kursi putih di bawah pohon akasia milik Fakultas Teknik. Dengan kaki yang menyilang dan sebatang rokok yang terselip di antara jari-jemarinya, Edgar memandang ke arah lapangan luas beraspal yang berseberangan dengan kampus Teknik.

Gabriel bersama gadisnya seolah berkejar-kejaran di sana.

“Ngapain, sih, dia?”

Edgar menoleh ke arah lawan bicaranya. “Mengejar jodoh. Apa yang lo pikirin soal Gabriel memangnya?”

Ikrar menyalakan pemantik untuk menyulut rokok batang keduanya. “Gue pikir yang di sana bukan Sarah,” tunjuknya ke arah Gris dan Gabriel dengan jari yang mengapit lintingan nikotin.

“Memang bukan.” Edgar mengembuskan asap rokok ke atas kepala. “Lo tahu Grisha Kania?” tanya Edgar berusaha lebih pelan dari suara sebelumnya. Berharap Ikrar tidak terlalu tuli untuk pertanyaan yang satu ini.

“Yang mana?” Ingatan Ikrar memang tidak sebagus yang Edgar kira.

“Sial!” Ikrar berjengit saat sebatang ranting pohon yang kering jatuh ke kepalanya. Kemudian dilemparnya ranting itu dengan kesal ke arah Edgar.

Edgar menghindar. “Gadis yang selalu satu kelompok sama kita pas SMP. Mukanya jutek, dia nggak banyak ngomong,” lanjutnya sambil terkekeh. “Gue nggak berpikir Gabriel bakalan seenggak terduga ini. Sudah pilihan yang tepat dia milih Sarah jadi gebetan, sudah cantik, pintar, anak orang kaya pula. Terus Gris datang. Sarah berubah jadi nggak ada arti apa-apa lagi buat Gabriel.”

Ikrar mengangkat kedua alis. “Terus, siapa Grisha Kania? Bukan anak orang kaya? Nggak cantik? Atau bloon?” Cowok itu terbahak. “Bukan itu poinnya, Ed.”

“Kenapa bukan itu poinnya? Lo mikir apa soal cewek yang satu ini?” balas Edgar lebih pada pertanyaan bernada skeptis.

Kata Ikrar, “Sini gue kasih ingat lagi kalau lo mulai lupa.” Cowok itu menginjak puntung rokok sampai baranya padam. “Cewek cantik, kaya, dan pintar semua sudah bukan hal yang tabu buat teman lo itu. Makanya gue udah sering bilangin lo, Ed, jangan gerak lambat kalau lo udah suka sama cewek. Karena kalau lo lama, lo cuma bisa gigit jari karena gebetan lo pada akhirnya bakalan jatuh ke tangan Gabriel. Dari yang cantik sampai kaya raya.”

Edgar mengulum senyum. Benar sekali. Berteman dengan Gabriel yang misteriusnya tidak bisa ditebak tak memberikan kesempatan untuk dirinya ataupun Ikrar berlama-lama membiarkan gebetan mereka menyandang status ‘sendiri’. Karena apa yang dikatakan Ikrar benar adanya. Tanpa Gabriel menarik para wanita agar mendekat pun, mereka akan datang sendiri.

Edgar menyugar rambutnya yang masih segar. “Jadi, Bro, gue harus segera dekati Gris, ya?”

Lawan bicaranya mendengus. “Gue lupa siapa Gris itu,” jawabnya, “lo nggak capek jadi rivalnya Gabriel terus?”

Kemudian Edgar duduk tegak, satu kakinya naik dan dilipat di kursi sedangkan tubuhnya menyamping menghadap Ikrar. Tangan kirinya berada di atas sandaran kursi yang mereka duduki bersama. “Gris itu cewek dalam kategori yang lo sebutkan tadi dengan definisi yang lebih sempurna. Mahasiswi FISIP.”

Oh! Ikrar mengangguk pelan. “Jadi lo berniat untuk nggak ngelepasin cewek itu buat Gabriel?”

“Nggak juga, sih.” Edgar menipiskan bibir seraya menimbang kata yang pas untuk menjelaskan bagaimana pandangan Gabriel tentang Gris kepada Ikrar. “Soal cewek yang satu ini Gabriel beneran suka, Bro. Karena itu gue memutuskan buat jadi penonton yang baik aja, istirahat sejenak jadi rivalnya Gabriel untuk masalah perempuan.”

Before Us ... [LENGKAP]Where stories live. Discover now