10. Sshh

5K 1K 126
                                    

"Bahagia itu seluas tangis kita, An."

"Jadi apa?"

"Jadi kalo kamu sering nangis, gak ada alasan untuk gak sering bahagia."

"Tempat buat pacaran," bisiknya.

Pada tengah malam nanti, aku akan berdoa banyak-banyak dalam hati. Agar selalu dia yang menemani, menjadi satu-satunya pemilik hati, dan siapa yang selalu sanggup saling memperbaiki. Diluar mungkin wulan setelah bertelanjang, meskipun sebenarnya tak perlu kupertanyakan bagaimana antariksa keadaannya sementara bisa kumiliki seluruh dunia dibalik matanya.

Aku ketawa tanda setuju dengannya. Aku sengaja pilih seat agak menuju ujung. Aku gak terlalu peduli filmnya gimana, aku cuma mau lama-lama dengannya. Kenapa, ya, rasanya aneh. Pergelangan tangan kiriku sekarang rasanya beda sejak melingkar gelang pemberian si cinta disana. Studio gak begitu dipenuhi, buktinya kursi-kursi dibelakang aku dan Lugas tak terisi. Mungkin karena pemutaran filmnya sudah habis masa ramai? Pun sudah mulai dari tadi, namun dibanding bersandar ke kursi, aku lebih suka bersandar ke si Adi! Haha, hihi.

"Adi," panggilku, sama bisik-bisiknya.

Dia menoleh, matanya bagus juga, ya.

"Kamu pernah ciuman?"

Mukanya berubah kaget tapi nahan ketawa sedikit.

"Enggak lah. Kenapa nanya gitu?"

"Oh, enggak."

"Kenapa? Mau?" tanyanya dengan sedikit ketawa hampir tanpa suara.

"Iya,"

Dia diam. Lho emang kenapa? 'Kan dia tanya, ya sudah aku jawab.

"Aku becanda, An." katanya lagi-lagi hampir tanpa suara.

"Aku enggak." kataku.

Dia gak langsung jawab, lama dia diam dan fokus kepada layar lebar di hadapannya.

"Emang, kamu maunya sama siapa?"

"Sama orang lain?"

Dia menoleh lagi, "Ya... jangan dong,"

"Ya udah."

"Ya udah apa?" tanyanya lagi, banyak nanya ah!

"Ya udah aku gak akan ciuman sama siapa-siapa."

"Iya, bagus." katanya sambil mulai fokus kedepan lagi. "Nanti ya," lanjutnya.

"Nanti apa?" kutanya dia.

"Nanti, sekarang 'kan lagi nonton."

AKU JUGA BERCANDA!

Waktu kian melaju sementara aku begitu gak bisa fokus dengan layar, sedari tadi kuubah posisiku karena mendadak tak lagi mau bersandar. Mendadak udara enggan menyeruak kedalam ruang paru-paru.

"An," bisiknya.

Aku diam.

"Beneran mau?"

Ah, dasar, dia! Aku gak jawab, malah aku cuma berusaha fokus kedepan. Jantungku rasanya hampir mencelos.

"Lihat dulu sini,"

Kulirik dia disudut mata. Lugas diam, dia natap aku beberapa detik lalu, aku mau mati. Aku bersumpah tadi aku gak betul-betul, aku cuma iseng tanya dia dan kenapa jadi ribet sendiri begini, sih? Kenapa, ya, aku, ini?!

Deg.

Deg.

Deg.

Kau harus tau bahwa debar kali ini mirip hantaman godam besar dibalik dadaku sendiri. Boleh gak ya, nanti, aku meminta dia melakukan ini lagi? Haha, hihi. Kedua, kau harus tau bahwa rasanya cuma aku, satu-satunya anak manusia yang malam ini melumat seluruh suka, lantaran ia. Sebenar-benarnya aku hanya ingin berdiam diri saja, berdua dengannya, lima jam lamanya atau lebih lama lagi sedikit saja.

"Bisa nafas gak?"

Aku ngangguk, lalu dia, ah, udahlah! Aku bohong, aku gak bisa nafas. Sebab pada dada yang mana isi seperti diguncang gempa bumi. Kali ini kulepas sengaja, kudorong dia. Gila! Kenapa rasanya begini?!

"Aku gak bisa nafas," kataku setelah dorong lehernya.

"Tadi katanya bisa..."

Sontak aku menjauhkan diri, berusaha menata isi kepala dan hati, beserta membereskan porak porandanya disana-sini.

"Gak usah ngigit, An," katanya.

Kulirik dia, dia masih duduk disana, cuma sambil nahan ketawa. Bohong banget dia, dia yangㅡ?! Tapi aku dibuat geli olehnya, nyaris pecah tawaku malam itu. Berdampingan dengan dengan perasaan yang senang namun berantakan, aku dan dia saling menahan tawa dan berusaha membuat semuanya tanpa suara. Satu lagi soal kau harus tahu bahwa, aku bahagia!





































in case kalian ingin tau visualisasi gelangnya...

***fotonya sudah saya hapus he he***
bayangkan sesuka kamu aja :(

Sepuluh Ribu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang