22. Harapan

5.8K 403 5
                                    

Pagi itu matahari tidak menunjukkan sinarnya karena tertutup awan gelap. Suasana yang dingin itu membuat siapa saja ingin terus bergelung di bawah selimut enggan untuk beraktivitas.

Seperti saat ini, kelima Auriga tengah sarapan di ruang makan. Terlihat tak bersemangat, malas untuk pergi ke sekolah di hari Senin ini.

"Sekolah gak diliburin, bang?" tanya Ken lesu. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, melahap rotinya perlahan saking malasnya.

Satya mendengus, tangannya sibuk mengoleskan selai nanas pada rotinya. "Kalau itu sekolah punya eyang udah gue telpon dari tadi suruh liburin."

"Gak bisa apa kita ijin sakit berlima? Atau Ndarru aja gitu, nih mendadak demam lagi masa." Adel menaruh telapak tangannya di kening dan berlagak lemas. Ia benar-benar ingin berlari ke kamar dan tidur dengan nyenyak.

"Oh, Ru masih sakit? Panggil dokter aja bang, suruh suntik." sahut Lya santai. Nevan yang tengah mengunyah rotinya pun terkekeh kecil.

Satya menaikkan kedua alisnya. "Ide bagus, biar langsung sembuh." Satya bersiap untuk menelpon dokter kepercayaan keluarga mereka. Adel spontan beranjak, merebut ponsel Satya dan menyembunyikannya.

"Gak perlu repot-repot. Ru udah gak demam lagi kok, sangat sembuh." Adel menunjukkan senyum terpaksanya membuat Satya dan Lya tersenyum kemenangan.

Kelimanya segera menyelesaikan sarapan dan bersiap berangkat ke sekolah meskipun ogah-ogahan.

Kelima remaja dengan usia yang berbeda-beda itu pun keluar rumah dengan tas ransel menempel di masing-masing punggung mereka. Lya yang bertugas memegang kunci rumah mengunci pintu begitu seluruh saudaranya sudah diluar rumah.

Satya lebih dulu ke mobil, membuka pintu dan duduk di kursi kemudi. Disusul dengan Nevan, Adel, dan Ken yang duduk di kursi belakang.

Adel dan Ken masih nampak lesu, kasur di kamar mereka seakan memanggil-manggil menyuruh untuk segera ditempati.

"Ada upacara gak sih, kak?" tanya Adel pada Nevan. Nevan yang tadinya sibuk dengan ponsel pun menoleh. Ia menaikkan alisnya melihat adiknya itu sedang bersandar di bahu Ken memeluk pinggang kakak sepupunya manja. Ken sendiri diam saja dipeluk seperti itu, ia justru meletakkan kepalanya di atas kepala Adel sembari memejamkan mata.

Lihat kan? Beginilah kalau Tom dan Jerry sedang akur.

"Kayaknya gak upacara. Mendung gini takut malah ujan." Nevan malah ikut-ikutan ndusel, menyandarkan kepalanya di bahu Adel.

Lya yang sudah duduk di bangku penumpang sebelah Satya lantas mendengus melihat ketiga saudaranya itu. "Semangat dong, dek! Hari senin kok masih lesu-lesu aja. Kemarin kan udah camping harusnyaa fresh."

Satya menyahut, "Fresh sih nggak, stres iya."

Nevan mengangguk setuju. "Gara-gara nyari cecunguk nih." dengan usil Nevan menyentil kening Adel membuat gadis itu mengaduh.

"Ru kan udah minta maaf semalem, masih kurang?!" kesal Adel. Capek juga disalah-salahin, padahal kan Adel juga tidak berniat menghilang begitu saja.

"Cup cup cup," Ken menepuk-nepuk pipi bulat Adel. "Van, lo gak usah nyari gara-gara ntar lo yang gue sleding." lerai Ken dengan suara malasnya.

Nevan mencibir dan memilih diam. Setelah itu, perjalanan menuju sekolah ditemani dengan ocehan Adel, menceritakan kisahnya yang bermalam di hutan. Semua diam mendengarkan, kecuali Ken yang sudah tertidur pulas di pelukan Adel, seakan ocehan Adel adalah dongeng pengantar tidur untuknya.

Begitu sampai sekolah, hujan yang begitu deras menyambut mereka. Satya segera memarkirkan mobil hitamnya di parkiran dalam yang terhindar dari tetesan hujan. Lya segera keluar mobil, payung lipat abu-abu sudah siap di tangannya. Begitu pula Nevan yang merapatkan jaket birunya dengan payung di tangan kirinya.

Adel dan Ken masih di dalam mobil, sibuk memakai jaket mereka dan mengambil payung lipat lalu keluar mobil.

Sedangkan Satya, pemuda itu tengah mencari-cari payungnya di mobil yang tiba-tiba saja tak ada.

Pemuda tinggi lantas itu keluar mobil. "Ya, gue nebeng ke kelas, ya. Lupa payungnya ketinggalan di rumah." ucapnya pada Lya. Gadis itu mengangguk begitu saja.

Adel yang sedang menarik resleting jaket sampai leher tak tahan untuk mencibir. "Jingin lipi piyingnyi yii, jingin simpi kitinggilin." ledek Adel menirukan kalimat Satya sebelum mereka keluar rumah tadi dengan bibir bawah dimajukan dan mengubah huruf vokal menjadi huruf i semua, membuat Satya jengkel, tak tahan untuk menjitak pelan kepala Adel. Sementara ketiga Auriga lainnya tertawa.

"Udah ah, buru ke kelas nanti malah ujannya makin deres." kata Lya.

Keempatnya mengangguk patuh dan menuju kelas masing-masing dengan payung yang melindungi mereka dari air hujan. Satya sendiri bergabung dengan payung Lya menuju gedung kelas 12. Memang, gedung kelas sekolah mereka lumayan jauh dari parkiran, yang membuat murid disini harus melewati hujan yang turun semakin lebat untuk ke kelas mereka.

Satya yang berjalan di sebelah Lya segera mengambil alih payung di tangan Lya. Mereka melewati hujan dan sampai di gedung kelas 12. Satya pun menutup payung yang dibawanya. Lalu memberikan payung itu pada si empunya. Mereka kembali berjalan menuju kelas masing-masing.

"Udah siap ketemu dia belum, bang?" tanya Lya tiba-tiba menoleh menatap Satya dari samping sambil terus berjalan.

Satya merapatkan bibir dan mengangguk kecil. "Dugaan gue bener, dari awal emang udah keliatan gak beres. Gue udah ngerasa aneh sama tuh anak waktu pertama kali ketemu."

Lya menghela napas, tangannya terangkat mengusap bahu Satya. "Lo jangan sampai lepas kendali kalo liat dia. Tetep kalem."

Satya mengangguk lagi dan tersenyum kecil.

"Tenang aja. Lo percaya sama gue kan?" Satya menoleh membalas tatapan Lya.

Lya jadi ikut menyunggingkan ujung bibirnya bangga. "Gue selalu percaya sama kepala suku."

Mendengarnya membuat Satya terkekeh. Tanpa sadar mereka sampai di koridor yang bercabang. Satya mengacak rambut Lya sejenak dan berbelok ke koridor IPS meninggalkan Lya yang masih diam berdiri di belokan memandang Satya yang berjalan menjauh.

Gadis cantik itu mengerjap berulang kali dengan sorot mata sendu, ia terus berharap semoga semua berjalan baik-baik saja tanpa ada satu dari kelima Auriga yang terluka.

***

AURIGAWhere stories live. Discover now