Tiga Belas

156K 18K 577
                                    

Dear siders, kudoain jarimu kepleset nekan bintang di pojok kiri itu. Aamiin. 🤲

***

Semula aku memilih diam dan tidak ingin memberitahu Bang Gibran tentang Nessa yang merasa tertekan dengan rencana perjodohan itu. Namun, semakin kupikirkan, aku justru semakin tidak tega jika Bang Gibran terlambat tahu.

Maka, aku putuskan untuk menemuinya di sela-sela jam istirahatnya. Senin siang ini, kami janjian bertemu di salah satu restoran dekat kantornya. Sekalian makan siang.

Kupikir, Bang Gibran harus tahu. Sebelum pihak keluarga Ayah Ibu membatalkan rencana perjodohan itu, dia harus lebih dulu mundur. Aku tidak rela jika Bang Gibran ditolak Nessa. Jika dia mundur duluan, setidaknya dia tidak seperti laki-laki yang benar-benar menginginkan adik kesayangan Arion itu.

“Jadi, mau ngomongin apa nih, adik bontotku tersayang?” tanya Bang Gibran setelah menyeruput ice tea lychee—sehabis menandaskan nasi bakar cakalang—yang tadi dipesannya. Aku memang memintanya untuk menghabiskan makanannya lebih dulu sebelum berbicara. Khawatir dia tersedak karena terkejut dengan kenyataan yang kudengar tiga malam yang lalu.

Aku memandang Bang Gibran lama. Sebelum berbicara, aku harus memastikan dia akan baik-baik saja. “Bang Gibran nggak akan pingsan, kan, kalau aku ngasih tahu soal ini?”

Laki-laki itu seketika terkekeh. “Kalau boleh ngarep sih, mendingan aku pingsan di sini. Kapan lagi coba, aku bakalan digendong sama adik bontotku ini?”

Aku memutar bola mata malas. Kebiasaan laki-laki satu ini. Suka menanggapi sesuatu dengan becanda. Mungkin ini yang membuat Nessa tidak menyukai Bang Gibran.

Aku memasang wajah serius. “Bang Gibran beneran mau serius sama Nessa?”

“Memangnya selama ini aku terlihat main-main?”

Aku menghela napas panjang. “Kalau kuminta Bang Gibran lebih baik mundur, apa ... Bang Gibran mau melakukannya?”

Laki-laki itu terpaku. Sampai beberapa detik kemudian, dia tetap tidak bersuara sedikit pun.

Pandanganku menekuri meja. “Aku kemarin nggak sengaja denger omongan Abang ke Ibu. Nessa ....” Aku terdiam sebentar. Rasanya lidah ini mendadak kelu ketika akan mengungkapkannya. Kuhela napas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Dia ... merasa tertekan dengan rencana perjodohan ini, Bang.”

Aku mengangkat wajah. Sekadar ingin melihat bagaimana ekspresi muka Bang Gibran.

Laki-laki itu tampak tertegun. Sejurus kemudian, dia malah tertawa. Derai tawanya terdengar dipaksakan. Terasa tawar.

Aku tersenyum getir.
Bukan hanya Bang Gibran yang hatinya sakit, hatiku pun sepertinya juga tidak sehat. Meski aku tidak tahu jawaban Arion ketika ditanya Ibu malam itu, nyatanya aku tidak bisa bersikap seolah kami baik-baik saja.

Arion sepertinya menyadari perubahanku. Aku memang tidak sampai mendiamkannya. Namun, jawabanku yang hanya sekata dua kata atau sekadar gerakan kepala (entah anggukan atau gelengan) saat dia mengajakku berbicara sudah cukup menunjukkan perubahan sikapku kepadanya.

Pagi tadi, dia pun tak lagi mengecup keningku seperti yang biasa dia lakukan ketika berangkat ke kantor. Entah dia ikut marah atau hanya menuruti keinginanku.

Ya, aku memang selabil ini. Aku mungkin berlebihan karena mengartikan diamnya malam itu sebagai jawaban. Tapi, jika dia tidak merasa terbebani mengapa dia butuh waktu lama untuk menjawabnya?

“Sebenernya tanpa kamu kata pun, aku sudah menduganya. Tapi, ketika tahu kenyataannya seperti ini, aku semakin yakin buat mundur.”

Aku hanya menatap nanar ke arahnya.

Not a Dreaming Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang