3

527 139 49
                                    


Sore di penghujung jam kerjanya, Raina duduk sendirian di ruangannya sementara butiran salju mulai berjatuhan di luar, memandangi wajah sembab di kaca bedak dan mengamati jari manis tangan kiri yang kosong. Pekerjaan hari ini sudah selesai, dia punya waktu bebas untuk mengambil keputusan atas kasus yang membelit Taehyung, menerbitkan beberapa jalan keluar paling baik untuk si korban tanpa membahayakan pacarnya.

Raina meringis mendapati pikirannya tidak sejalan dengan kenyataan, bahwa Taehyung bukan lagi kekasih atau tunangannya. Hubungan mereka sudah selesai, tapi Taehyung tidak bersalah, batin Raina, kemudian, Taehyung tetap tersangka walau Seokjin yang merancang semuanya.

Kalaupun sempat terlintas dalam pikiran untuk balik menyerang Seokjin dengan membeberkan kejahatan pria itu, atau meminta Seokjin bertanggung jawab, hal itu masih terlalu mengusiknya.

Delapan belas tahun dia mengenal Seokjin, tumbuh bersama sebagai sahabat berlabel saudara angkat. Seokjin menjaganya dengan baik selepas ayahnya meninggal, bahkan Raina punya rasa peduli dan lebih percaya pada Seokjin ketimbang Taehyung. Mustahil rasanya memenjarakan Seokjin, tapi tidak masuk akal juga bila dia melihat Taehyung terpuruk dalam jeruji besi.

Kaca yang Raina pegang melorot ke meja saat pandangannya kabur oleh air mata, jantungnya serasa berdengap. Raina menangkup wajahnya yang kini basah, meluapkan beban pilihan yang seperti tali tambang melilit leher, kian mencekik dari menit ke menit.

Siapa yang harus dia pilih? Siapa yang lebih pantas menyandang label jahat dari dua pria yang begitu disayanginya.

Ponsel Raina berdering, memecah sesak di rongga dada. Sesudah mengusap pipi dengan tangan dan membaca nama Taehyung di layar ponsel, barulah dia menyadari bahwa sebelumnya dia berharap itu Seokjin.

"Ya?" ucap Raina.

"Aku di luar ruanganmu," kata Taehyung, melompati semua masalah yang membelenggu hubungan mereka. "Hari ini kita pulang sama-sama. Kau sudah selesai? Di luar saljunya lumayan, jangan lupa pakai mantelmu."

"Taehyung, aku—"

"Aku tunggu di sini sampai kau selesai."

Raina menutup telepon seraya mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai, sekali lagi merenungkan siapa yang harus dia pertahankan. Raina mengambil mantel yang tergantung di gantungan dekat pintu, memakainya sangat pelan sementara degup jantungnya kian berpacu.

Setelah menyandangkan tas di bahu, jemarinya terhenti di atas knop pintu, kakinya mendadak mundur tiga langkah saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar. Muncul intensitas baru yang nyaris panik saat Taehyung di muka pintu, pria itu tersenyum hangat seperti di ribuan hari kebersamaan mereka.

Lalu tanpa sempat mengantisipasi Raina sudah ditarik keluar ruangan dalam genggaman tangan yang terasa terlalu erat, menelusuri lobi rumah sakit dan tanpa perlawanan membawanya ke dalam mobil.

Di antara renjana dan rindu mendominasi hati, Raina memilih membatu di kursinya sampai dia menyadari kalau jalur yang diambil Taehyung adalah ke arah kediaman orangtuanya di Ilsan.

"Taehyung, aku tidak mau pulang ke rumah."

Taehyung bergeming.

"Aku belum punya alasan yang tepat untuk menjelaskan hubungan kita pada ibu, jadi tolong—"

"Biar aku yang menyelesaikannya," sela Taehyung. "Aku akan menjelaskan kepada ibumu dan orangtuaku kalau kita batal menikah."

Aliran darah Raina serasa bergerak lebih cepat, dia mengalihkan atensi sepenuhnya pada wajah kaku Taehyung yang terpaku pada jalanan. Jemarinya bergetar, ujung matanya mulai memanas, ketika dia melihat cincin tunangan mereka masih tersemat di jari Taehyung.

Blossom TearsWhere stories live. Discover now