👔Unspeakable: Seven.👔

7.4K 657 32
                                    

     Jihan Safhira Gergansia, cewek berhelm pink itu turun dari motor satu-satunya anak laki-laki di keluarga Gergan, siapa lagi jika bukan Jheno Abraham Gerganio. Adik paling menyebalkan jika sedang rese mode on  dan paling tersayang jika sedang memberi hotspot bagi Jihan.

    Jihan berdiri di dekat setir motor, menatap Jeno memicing. Tangannya tiba-tiba terangkat, minta disalami. Seketika Jeno menaikkan kaca helmnya, bersiap mengomel.

    “Bukannya kasih uang, malah minta yang lain. Lagian, kalo ngirim motor ke bengkel itu jangan lupa diambil lagi, Jeno itu gak suka sama cewek SMA sini yang pada geni—”

    Ucapan Jeno terhenti ketika Jihan memukulkan telapak tangannya ke mulut Jeno, mata cowok itu sampai melotot antara kaget dan kesal.

    “Abpha!” sungut Jeno menatap Jihan mencoba melawan.

    “Cowok itu gak boleh ngomel, ssstt.”

    Jeno memutar bola mata cepat, kakaknya ini sudah menjadi cewek maniak pink dan k-pop, juga maniak membuat orang-orang di sekitarnya bingung dan geram. Jeno menepis tangan Jihan hingga lepas.

    “Iyain, hukum cewek selalu benar masih berlaku,” sahutnya.

    Jihan memperlihatkan giginya yang rapi, berucap bangga, “akhirnya ada cowok yang ngakuin hukum itu, salut gue, Nono.”

    “Jheno! Bukan Nono!” tukas Jeno sebal.

    Jihan akan membalas lagi tapi terhenti saat melihat motor yang ia kenali selama ini mendekati gerbang sekolah. Harun!

    “Harun!” jerit Jihan melengking, kaca helm yang ia pakai sempat turun saking bahagianya.

    Harun tanpa disuruh pun pasti mendekati posisi kakak beradik ini, begitu pekanya cowok berkaca mata itu menghentikan motornya.

    “Naik, Ji.”

   Jihan bersorak dalam hati sebelum sedikit berlari dan duduk menyamping di jok belakang motor matic milik Harun. Sebelah tangannya melingkar erat di pinggang Harun, mereka sudah biasa seperti ini, tanpa peduli apa itu perasaan.

    “Jhe, gue bawa teteh, ya?” pamit Harun dan menarik gas melewati gapura SMA Nirwana.

    Jeno yang masih duduk di atas motor menggeleng, tak mengerti dengan dua sejoli ini. Sering bersama, tapi berteman.

    “Friendzone, friendship, fake friend. Awokwokwok.” Jeno tertawa gaje kemudian menurunkan kaca helm, menarik gas menuju SMP Majapura.

    Di area parkir, Harun memarkirkan motornya berjejer dengan kendaraan lainnya.

    “Tas lo biar gue yang bawa, lo cepetan ke masjid,” suruh Harun saat baru turun.

    “Oh iya, sekarang 'kan Dhuha berjamaah, duh gue lupa.”

    “Ya udah sana, sini tas sama helm lo gue yang bawa.” Harun mengulurkan  tangannya meminta. Jihan melepas tas pink serta helmnya.

    “Nih, makasih Harun  yang baik dan mancung! Eh, 'tar dulu. Mukena gue masih di tas.”

    Jihan membuka tasnya “Eh, lo udah ambil wudu?” tanya Jihan kaget saat tangan mereka bersentuhan.

    Harun mengangguk santai. “Udah? Sana cepet, ambil tempat.”

    “Kok lo gak bilang kalo habis wudu, sih? Kan tadi gue gak akan peluk lo dari belakang. Cuih, dasar maunya dipeluk, dasar jomblo!” sungutnya sembari melipat kembali mukena yang kusut karena ditaruh dalam tas.

   “Lagian kenapa lo santai aja?  Nanti lo gak kebagian tempat Shalat tau rasa!” lanjut Jihan.

   “Cowok bisa Shalat di mana dan sama siapa aja, gak kayak cewek, ribet.”

   Jihan mengangguk setuju. “Lo emang pengertian banget. Yaww, gue duluan!”

    Setelah melambaikan tangan Jihan melesat dari hadapan Harun.  Cowok itu hanya mampu tersenyum, semoga hanya dia yang kagum dengan sifat lucu Jihan.



👔👔



      Siang setelah jam istirahat, seluruh murid kelas 11 Mipa 2  terbagi tugas di lapangan upacara. Mereka tengah latihan upacara untuk Senin esok. Jihan yang notabene tidak suka dengan hal-hal berat memilih menjadi dirigen saja. Selain tidak perlu mengeluarkan suara lantang, ia juga akan mendapat tempat di pinggir lapang. Bahagia Jihan tentunya.

    “Nanti lo maju dua langkah, habis itu hadap kiri,” tutur Sandi. Iya, anggota OSIS yang bertugas melatih salah satunya adalah Sandi.

    “Oh, gini.”

   Jihan segera mempraktikkan dengan tegas, ia tak ingin malu di depan umum. Sandi mengangguk cukup puas.
    “Hadap kanan lagi habis itu naik ke tangga biar paduan suara yang belakang kelihatan sama aba-aba dari lo.”

     “Siap!” sahut Jihan semangat.

    Sandi sempat tersenyum simpul sebelum pergi mengajari petugas upacara yang lainnya. Sementara Jihan kembali ke tempat, berbaris bersama petugas lainnya di pinggir lapangan yang lumayan terik. Harun yang berdiri di sampingnya berbaik hati menaikkan buku doa di atas kepala Jihan, memberikan kesan teduh.

    “Biasanya juga mau jadi paduan suara, tuh teduh.” Harun mengarahkan dagunya ke sisi lapangan tepat ke barisan kelas 11 Mipa 2 yang tengah bernyanyi keras.

    Jihan mengikatkan bagian depan jilbabnya ke belakang, mengipas menggunakan tangan mencoba mengurangi gerah.

    “Mau aja coba jadi dirigen. Eh, Harun, pulangnya nebeng, ya?”

    Harun mengangguk saja. Jihan tersenyum lebar begitu senang, jika Harun mengangguk itu sudah sakral. Karena cowok es balok plus prasasti ini sulit mengikuti keinginan Jihan.

    “Buat doa, ada masalah?” suara Sandi memecah tatapan Jihan dan Harun. Harun mengangguk tanpa melepas payung buku dari Jihan.

    “Bagus kalau gitu. Jangan sok romantis, namanya juga upacara ya panas,” kata Sandi datar, dia berlalu pergi mengabaikan kerutan bingung Jihan, gadis itu lagi-lagi loading.

    “Maksud Sandi apa, Harun?” tanyanya polos.

    Harun menurunkan tangannya membiarkan wajah Jihan kembali tersengat sinar matahari, tangannya menurunkan talian jilbab Jihan dan merapikannya ke samping.

    “Bukan apa-apa. Jangan diikat terlalu tinggi, gak baik diliat orang.”

     Jihan lagi-lagi mengerut bingung, bahkan menggaruk belakang jilbabnya tak habis pikir. Kenapa dua cowok ini aneh sekarang? Jihan mengalihkan pandangan ke sisi lapangan, dia melihat Sandi. Cowok itu tengah menatap penuh mengintimidasi sambil melipat kedua tangan di depan dada. Sontak dia bergidik, Sandi lagi-lagi galak.



👔👔



      Jihan sebal, dia menenteng helm pinknya menuju warung Bu Lila karena Harun menyuruhnya ke sana. Warung yang sering dikunjungi anak-anak nakal dari SMA Nirwana. Salah satunya geng yang diikuti Harun. Jihan kadang tak habis pikir, cowok itu pintar tapi mau mengikuti geng begitu.

    Langkah Jihan terhenti di tempat parkir motor tepat di depan warung. Dia menatap ke dalam, dan saat itu juga Harun keluar dari sana. Hati Jihan meringis melihat penampilan Harun, kemeja yang tanpa dikancing menampilkan kaos hitam tipis di dalamnya, lengannya juga digulung hingga siku, dan satu dasi mengikat dahinya. Sungguh luar biasa liar Harun ini.

    “Udah mau pulang?” tanya Harun dengan senyum tipisnya. Senyum yang jarang ia beri ke orang lain selain Jihan seorang.

    “Iya. Harun, lo udah kayak preman di depan toserba lampu merah deh, ihh,” kata Jihan menatap Harun dari atas sampai bawah.

    Harun hanya mampu tertawa kecil, ia ambil helm di lengan Jihan kemudian memakaikannya pada cewek berjilbab itu.

   “Mana ada preman ganteng kayak gue,” ucap Harun narsis.

    “Cih, sorry. Lo gak seganteng Taehyung dan Jimin di mata gue,” sahut Jihan sembari membenarkan kunci helm.

    “Pantesan motor lo belum diambil, pasti uangnya buat beli kuota streaming boy band yang namanya bitis itu.”

    Jihan yang mendengar idolanya dilecehkan itu segera melotot dan berkacak pinggang galak. “BTS, Harun! Bitis, bitis!”

     “Oh, udah ganti toh?”

     “Bodo amat, Harun!”

       Harun tertawa pelan, dia segera mengeluarkan motor maticnya kemudian memberi kode agar Jihan naik.

     “Oke, sesuai aplikasi ya, Mas?” ucap Jihan menahan tawa.

    Harun menatap tajam dari kaca spion, tapi bibirnya tersungging gemas, “Siap, Mbak. Tujuan konser bitis terlaksana.”

    “BTS, HARUN! BUKAN BITIS! ASTAGFIRULLAH!”

    “Ahahaha, iya iya BTS!”



👔👔

Unspeakable [Terbit]Where stories live. Discover now