#15

9.7K 616 6
                                    

"Inget, Nduk! Ketika Zulaikah mengejar cinta Yusuf, maka Yusuf menjauh. Tetapi ketika Zulaikah mengejar cinta Allah, makan Allah dekatkan Yusuf untuknya,"

"Nduk harus sabar ya, kalo jodoh nggak akan kemana. Sekarang deketin aja Allah, biar Allah sendiri yang mendekatkan jodoh mu," lanjut Ibu.

"Nggih, Bu," hanya itu kata yang keluar dari bibirku.

Kemudian Aku diajak Ibu untuh sholat 'Asar berjama'ah. Dalam doaku Aku meminta sesuatu untuk penyembuh luka ini. Ntah apa saja itu, yang penting Aku bisa meringankan rasa sakit ini.

'Ya Rabb... jika memang dia lah jodohku, makan dekatkan lah. Tetapi jika bukan, maka jauhkan lah dan berikan dia pada orang yang pantas untuk ku. Serta berikan Aku pengganti yang pantas untuk ku.'

*****
(Adzan Maghrib)

Seperti biasa, Aku membaca Al-Qur'an sampai adzan Isya' tiba. Tapi bacaan kali ini tidak selancar sebelumnya. Air mata terus keluar. Ntah karna menyesali perbuatan karna lebih mencintai hamba-Nya dibandingkan dengan Tuhan atau karna Aku yang terlalu lebay. Kenapa patah hati yang kali ini lebih sakit dari sebelum nya?.

Saat patah hati sebelumnya ketika Ilham mendekati Febri, Aku hanya biasa-biasa saja. Tak ada air mata yang keluar. Bahkan Aku mampu menutupinya dari kedua orang tua ku. Tapi patah hati kali ini, Aku tak mampu menutupinya. Sampai Bapak dan Ibu tau akan hal ini. Bahkan Bapak menawarkan diri untuk melamarkan Gus Maulana untuk ku. Tetapi Aku menolak dan melarangnya. Karna menurutku keputusan Abi dan Umi itu adalah keputusan yang tepat.

Memilihkan jodoh untuk putranya dari kalangan 'Ning'. Dimana-mana memang Gus cocoknya sama Ning.

Tiba-tiba Bapak mengetok pintu kamarku.
"Nduk, udah selesai ngajinya? Itu ada Pakde sama Bude dateng mau ketemu kamu," ucap Bapak dibalik pintu.

"Iya sebentar, Pak," jawabku dengan suara serak khas orang habis menangis.

Ku letakan Al-Qur'an diatas meja belajar. Kemudian sedikit memoleskan make up natural pada bagian mata supaya dapat menutupi bekas bengkak karna menangis.

Ku tempelkan dan ku ikatkan niqob pada wajahku. Sebenarnya malas pakai niqob karna hanya Pakde dan Bude. Tapi niqob ini juga berguna untuk menutupi bekas menangis.

Aku keluar kamar dan menuju ruang tamu.
"Assalamu'alaikum," ucapku dari kejauhan.

"Wa'alaikumsalam, Nduk," jawab Pakde, Bude dan Ibu Bapak ku.

Saat mulai mendekati kursi, Aku berjalan menggunakan lutut kemudian mencium punggung tangan Pakde dan Bude ku. Sakit sih karna belum terbiasa.

Aku memilih duduk dibawah, sedangkan Ibu, Bapak, Pakde dan Bude duduk di kursi.

"Nduk Dina sekarang tambah cantik pakek niqob," ucap Bude memujiku.

"Matur suwun, Bude,"
(Terima kasih, Bude,)

"Habis lulus sekolah mau lanjut kemana, Nduk,?" tanya Pakde.

"Kirangan, dereng retos bade lanjut teng pundi," jawabku.
(Nggak tau, belum tau mau lanjut kemana,)

"Mondok tempat Pakde aja, Nduk. Bantu-bantu Pakde sama Bude ngurus pondok," ajak Pakde ku.

"La Gus e teng pundi, De,?" tanyaku.
(La Gus nya kemana, De?)

"Loh belum tau to?,"
"Gus nya lanjut nyanti di Hadratul Maud, Nduk," lanjut Pakde.

"Loh sejak kapan? Kok kami nggak tau?," tanya Bapak.

"Sudah lama, bentar lagi juga pulang. Cuman Mbakyu mu ini lo yang selalu bilang kesepian nggak ada temen ngobrol," jawab Pakde.

Kamipun mengobrol dan tak lupa Aku memberikan hidangan untuk Pakde dan Bude. Sampai akhirnya Ibu dan Bapak meminta Pakde dan Bude untuk menginap di rumah dan mereka mau.

Cinta Dalam DiamWhere stories live. Discover now