Azkiel's Appa-! 02

905 70 3
                                    

"Iel, tadi Ibun ditelepon Ibu Guru, katanya Iel berantem lagi, ya? Arin juga katanya sampai menangis. Iel nakalin dia?" Ibun berjongkok di depan Azkiel. Menatap anaknya dengan sorot lembut meski dihatinya was-was dengan kelakuan Azkiel yang sempat membuatnya khawatir.

Tadi saat masih di toko, Ibun mendapat telepon dari wali kelas Azkiel. Wanita itu menjelaskan pada Ibun kejadian tadi pagi yang sempat menggegerkan kelas. Azkiel kembali berulah.

Makanya Ibun disuruh datang ke sekolah padahal belum jam pulang sekolah. Dan kini akhirnya mereka sedang ada di Ruang Guru.

Ibun menatap Azkiel. Mencoba mengangkat dagu bocah itu agar mau menatapnya. "Jawab Ibun dong, Iel."

"Iya, Bu. Tadi Azkiel sempat dorong Arin, banyak saksi matanya. Tapi Iel gak sepenuhnya salah, karena dari awal memang Arin yang mencela Azkiel." Ibu Guru menjelaskan. Tadi ada beberapa pengakuan jika Azkiel memang sempat berbicara tidak sopan, yang membuat amarah Arin juga tersulut dan membuat bocah perempuan itu teriak mencela Azkiel dan didukung oleh teman-temannya.

Ibun memijat pelipisnya. Tidak ada yang benar dari keduanya, mereka sama-sama salah, terlebih anaknya yang mulai main tangan.

Seperti yang sudah-sudah, jika Azkiel melakukan kesalahan yang fatal, Ibun selaku orang tua kerap dipanggil untuk berkonsultasi dengan wali kelas. Membicarakan bagaimana cara mengatasi perilaku Azkiel yang kadang kali membuat kenakalan dengan ulahnya.

Ibun langsung menegak. Berdiri dari posisi jongkoknya. Matanya menyorot sendu, terlebih lagi dengan perasaannya semakin kacau saat melihat Arin yang sedang menunduk.

Lantas Ibun kembali melontarkan pertanyaan yang sebelumnya masih diambang penasaran, karena dia belum mendengarkan pendapat dari Azkiel.

"Iel berantem gara-gara apa?"

"Tadi mereka pada ngata-ngatain Iel. Mereka ejek Iel terus," sahut Azkiel lesu. Dia juga sering kedapatan melirik Arin dengan sorot mata bersalah. Sepertinya bocah itu ada sedikit empati dengan Arin. "Dia bilang katanya Iel gak punya orang tua. Iel anak anak nakal gak disayang orang tua."

"Tapi meskipun ada orang yang ngejek, jangan sekali-kali Iel dorong ya! Jangan kasar sama temannya atau sama siapapun. Ibun gak pernah sama sekali ngajarin Iel jadi tukang pukul!" Ibun berkata tegas dengan memegang pundak Azkiel. Suaranya tidak meninggi namun intonasinya lugas.

Hening.

"Ngerti gak?"

"Iya Ibun, maaf. Janji gak ulang." Azkiel menunduk, menggerakan kakinya secara gelisah.

"Maafnya sama Arin dan sama Orang tuanya. Jangan sama Ibun."

Ibun mengajak Azkiel untuk duduk di sebelah Arin, Arin masih menunduk. Ibun mulai mengusap rambut bocah perempuan itu dengan penuh perhatian. Hatinya sedikit teriris kala melihat luka lebam di badan bocah itu.

"Arin," panggil Ibun. Nadanya rendah dan lembut sekali. "Lukanya masih sakit, Nak? Kalau Arin mau marah sama Azkiel, gak pa-pa. Arin mau nangis, nangis aja ya gak usah ditahan. Nanti biar Azkiel Ibun nasehati biar gak berbuat seperti itu lagi. Dia gak seharusnya dorong dan jahatin Arin."

Kenapa Ibun berbicara seperti itu? Karena bagi Ibun wajar saja jika Arin marah pada anaknya yang sudah berusaha mencelakakan Arin. Jadi Ibun akan membuat Arin memvalidasi perasaannya untuk merasakan emosi di dalam hatinya.

Sepertinya Arin sedang menahan tangis, terbukti saat Ibun menegakkan kepalanya, Arin sedang menggigit bibir kuat-kuat.

Arin yang menunduk kembali terisak. "Gak papa, Arin juga salah. Arin juga ngomong kasar sama Iel, t-tapi kakinya masih sakit." Bocah itu menunjuk lututnya.

Azkiel's AppaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang