Toples Langit

66 8 3
                                    

Jiho meletakkan bunga yang ia genggam ke atas pusara dengan nisan kayu rapuh dan tulisan nama yang luntur termakan waktu. Senyumnya terukir dengan berat, matanya berkilat sedih dengan atensi pada tanah yang menimbun tubuh seseorang di bawah sana. Tidak ada lagi air mata atau keluhan di depan nisan, ia hanya ingin berkunjung dan memberikan bunga meski hatinya tetap saja hancur melihat dunianya yang makin lama makin sepi.

"Aku merindukanmu," ia berbisik lirih dengan jemari meremas ujung bajunya. Celana yang ia kenakan dibiarkan kotor karena berlutut, tidak begitu peduli meski sedikit lembab karena hujan kemarin. Tangannya yang kosong mengusap tanah yang mengotori permukaan nisan, setidaknya untuk memberi tempat yang terlihat bersih bagi orang yang ia cintai. "Kapan terakhir kita bertemu, ya? Setahun lalu?"

Memorinya bergerak cepat membuka ingatan-ingatan setahun lalu, di kala musim gugur dengan warna merah, coklat, serta kuning yang begitu khas berserakan di jalan dan melawan birunya langit tanpa ragu. Pohon-pohon yang masih setengah meranggas karena baru saja lewat musim panas—meski para pembersih taman sudah harus bekerja begitu keras—nampak membahagiakan jika dilihat.

Jiho menyukai suasana musim gugur meski tubuhnya bisa mengigil karena udara yang tidak bersahabat, begitu pula pemuda yang mengenalkan diri sebagai Soonyoung. Mereka sering menikmati indahnya musim gugur bersama setahun lalu, dengan tawa riang karena gurauan atau obrolan ringan untuk menikmati waktu. Mereka mengaku tidak pernah bosan satu sama lain, maka tiap hening datang berkunjung di sela perbincaga, mereka akan saling menatap atau sekadar melirik lal memandangi pemandangan sebagai kegiatan paling sering terjadi di kala diam; entah itu pantas disandingkan dengan kata sering atau tidak karena sepertinya geming tidak senang berada di tengah mereka berdua. Tapi, tidak ada salahnya diam, lagi pula, menjadi penikmat angin musim gugur dengan tangan saling menggenggam saja sudah terasa cukup memuaskan.

Si gadis tidak pernah merasa lebih sedih daripada waktu di mana bayangan bersembunyi dibalik jarum jam hari, di kala matahari tepat berada di atas mereka hingga membuat mata menipis karena terlampau panas. Hari itu surya terlalu terik dan Jiho mengeluh terlalu banyak, bibirnya sibuk mengoceh sambil mengatakan betapa tidak bertanggung jawabnya Soonyoung yang membiarkan ia berada di depan sebuah kedai kopi begitu lama menunggu pemuda itu untuk masuk ke dalam karena janji kencan setelah setiap hari hanya menghabiskan waktu di taman sejak pertama bertemu.

Hingga kemudian suara telepon yang masuk ke dalam ponselnya, bunyi yang membuat Jiho ingin berteriak marah sejak setengah jam lalu, berubah menjadi panggilan paling menyakitkan yang tidak pernah ingin ia dengar. Ia ingin nomor itu tidak menelepon, ia ingin pemilik nomor ponsel itu datang saja.

Sebuah kecelakaan dengan Soonyoung yang tewas di tempat bukan sebuah cerita bagus meski ia coba cerna semua maksud orang yang bicara dari seberang di tiap kata yang terurai. Hatinya hancur berkeping-keping setelah dengan napas sesak dan mata penuh air tergenang, ia pergi ke sebuah rumah sakit kota Seoul dan seorang resepsionis yang memberi tahu di mana ia bisa menemui kekasihnya; jasad kekasihnya yang seharusnya ada di balik meja tempatnya duduk di dalam kedai kopi sambil tertawa-tawa karena gurauan tidak lucu.

Ia menemukan Soonyoung telah dilepastangankan dari jemari dokter yang bertugas dengan darah dan debu bercampur mengerikan di wajah hingga leher; entah bagaimana dengan kaki dan tangan yang sudah tertutup sebelum pemuda yang sudah tinggal jasad itu dibawa pergi ke pembersihan jenazah.

"Mereka yang sebatang kara, akhirnya akan kembali sendiri."

Jiho sempat mengeluh terlalu banyak di depan Soonyoung sebelum resmi mengikat hubungan di bawah pohon yang tengah meranggas, ia juga terlalu sering mengomentari nasibnya sendiri yang begitu menyedihkan bersamaan dengan malasnya berdoa pada Tuhan tentang harapan menjadi lebih bahagia di kemudian hari; ia pikir ia sudah terlanjur diberi takdir begini dan keluhan sama sekali bukan hal baik.

Mendengar semua tuturan sedih yang gadis itu lontarkan, Soonyoung dengan senyum tulus mengatakan bahwa dirinya bersedia memberi kehidupan lebih bahagia bagi Jiho. Hanya saja, perkataan kala pertama mereka bertemu telah terlanjur diamini malaikat dan membuatnya kembali sebagai si sebatang kara yang selalu sendiri. Jiho terlanjur menyumpahi dirinya sendiri.

Begitu langit sudah berubah mengikuti warna musim gugur, Jiho berdiri dari posisinya. Ia membersihkan celana yang kotor oleh tanah dan bersiap melangkah pergi. Berhenti memikirkan masa lalu menyedihkan yang terus ia ulang tiap harinya saat musim gugur tiba, meski salah satu sisi dirinya yang lain mengatakan bahwa hal itu tidak sepantasnya terus diingat.

Ia akan melangkah tergesa, khawatir dengan petangnya langit dan selesainya pohon meranggas sebelum akhirnya menghilang di balik tikungan memasukki gang sempit. Masuk ke tempat ia seharusnya, kembali bersama kehidupan terlampau sederhana dan sendiri; di sebuah rumah tak seberapa apik yang sama gelapnya dengan langit kala malam hari yang membuat kontras jelas dengan bintang-bintang.

Masih teringat soal hari di mana Soonyoung pergi. Masih terekam nyata memori tentang tiap kejadian yang terjadi seolah baru kemarin.

Hari itu, saat Soonyoung pergi untuk selamanya, Jiho menemukan sebuah toples kaca bening membungkus cahaya. Tertutup rapat, namun terasa hangat seperti langit yang samar-samar mulai menggelap.

Di sisi toples ada pesan, tulisan jelek yang ia tahu hasil dari tangan Soonyoung mendampingi. Ada pesan singkat di sana.

Aku baru saja mengiris ujung langit dengan tanganku, juga meminta sebongkah kecil cahaya mentari untuk dibungkus dalam toples. Aku bilang, itu untuk kekasihku yang suka menyendiri, agar dia tidak lagi kesepian karena besok aku akan mati. Kamu pasti tertawa kalau aku bicara jujur soal bagaimana aku mati, tapi aku hari ini sungguhan akan pergi karena kecelakaan. Aku sengaja membuatmu kesal sebelum aku pergi karena kehilangan waktu hatimu bahagia itu lebih menyakitkan.

Langit yang aku bungkus untukmu ini, semua hadiah dariku. Aku harap seiris matahari bisa jadi alarm pagimu, sebagai penggantiku yang akan pergi. Jiho, selamat menangis. Hari ini aku izinkan kamu membuang tangis, besok-besok simpan untuk sesuatu yang lebih baik, ya!

Oleh karena itu, Jiho akan menyendiri dalam gelap hingga petang usai. Ia hanya ingin ditemani toples berisikan seiris langit yang Soonyoung tinggalkan.

Surrealist StoryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt