Yang Pernah Tinggal

30 5 3
                                    

Namanya Kwon Soonyoung, tetangga di depan rumahku.

Bukan sesuatu yang berarti awalnya. Aku pikir, ia akan jadi tetangga biasa yang tidak begitu aku pedulikan juga eksistensinya. Sayangnya, aku harus tahu bahwa ternyata aku baru saja mengatakan hal yang salah. Kwon Soonyoung tidak berhenti jadi sosok biasa yang aku ketahui sekadar nama.

Orang-orang di kompleksku, semua mengenal sosok Soonyoung, khususnya anak kecil yang senang menggunakannya sebagai candaan. Terkenal dengan sebutan pemuda paling aneh karena tingkahnya yang kadang nampak tidak lazim. Kegemarannya bangun pagi hari demi menyirami tanaman, atau kegemarannya menata barang dagangan ibunya, juga ketelitiannya serta kebawelannya jika melihat sesuatu yang salah.

Pernah sekali, Soonyoung mengamuk parah karena anak-anak kecil yang ada di kompleks dengan sengaja merusak tanaman-tanaman yang ditata rapi di halaman rumah. Membuat tanah berserakan, pot terjatuh dari tatakan tinggi, juga beberapa daun yang sudah rusak. Ia berteriak marah hingga ibunya kebingungan, mencari pelaku perusakan barang berharganya. Dari situ aku menyadari, Soonyoung bukan sosok biasa. Soonyoung adalah seseorang yang spesial.

"Kim Jiho?"

Pertemuan pertama secara tatap muka dengan Soonyoung diawali dengan pemuda itu menyapa dalam nada yang sulit diartikan. Suaranya datar, tapi antusias. Senyuman lebar yang mungkin menunjukkan bagaimana Soonyoung yakin dengan ucapannya barusan.

"Kamu, Kim Jiho, 'kan? Aku belajar soal semua warga di kompleks lewat catatan warga yang ayahku milikki."

Keningku mengerut bingung. Apakah seluruh warga di kompleks, serta nama-namanya, adalah sesuatu yang perlu dipelajari? Soonyoung terdengar begitu lugu dan apa adanya. Memaksaku untuk tersenyum kecil dan menahan tawa.

"Ya, aku Kim Jiho," aku tidak bisa tidak tersenyum setelah Soonyoung memberikan senyuman lebih lebar usai jawabanku. Kekehan pun akhirnya lolos karena hal tersebut. "Salam kenal, Kwon Soonyoung-ssi."

Satu hal yang aku ingat. Soonyoung tidak memahami embel-embel sopan dalam sapaan di pertemuan pertama, tapi aku menyadari hal itu yang justru membuatku merasa nyaman dan tidak keberatan untuk lebih dekat dengannya. Nada datar dari caranya bersuara pun bukan sebuah penghalang. Soonyoung ternyata sangatlah ekspresif dan begitu tulus menunjukkan yang ia rasakan.

"Kamu pasti sering bangun kesiangan," begitu komentar Soonyoung saat aku mengatakan sudah waktunya pulang. Matanya menatap dalam-dalam, seolah pertanyaannya adalah sesuatu yang begitu serius. "Aku sering melihatmu berangkat, berlari dengan gugup dari depan rumah sampai ujung jalan."

Aku mengangguk sambil melafalkan oh beberapa sekon, "Ya... aku kadang sulit bangun pagi karena tugas yang menumpuk."

"Bangun pagi sepertiku saja," ia menyarankan. "Lanjutkan tugasmu setelah bangun, seperti aku. Tugasku juga banyak tiap pagi, aku harus menyiram bunga dan mengurus semua pekerjaan rumah!"

"Kamu tidak sekolah?" pertanyaan itu muncul begitu saja dari bibirku, rasanya sedikit aneh jika seorang yang harusnya diusia sekolah justru sibuk mengurusi rumah. Namun, ekspresi sendu yang Soonyoung buat mendadak memberiku perasaan bersalah, aku merasa sudah berbicara hal yang seharusnya tidak aku katakan.

"Maaf," ujarku penuh sesal. "A- aku tidak tahu kalau itu-"

"Aku tidak sekolah, Jiho," Soonyoung mengubah ekspresinya menjadi senyuman lebar yang entah kenapa membuat seluruh kesenduan di wajahnya lenyap. Soonyoung nampak begitu riang dengan wajah tanpa beban sebelum kalimat terakhirnya meluncur, "Aku keluar."

Aku tidak pernah sebelumnya merasa sebersalah ini, lagi pula aku tidak pernah menilai mereka yang putus sekolah berarti seseorang yang buruk. Ditambah lagi sekolahku bukan tempat yang menyenangkan dengan aku yang kadang merasa terasingkan serta teman seadanya.

Surrealist StoryWhere stories live. Discover now