PROLOG

12.2K 1.3K 105
                                        

Rasa kopi pahit yang kini masuk ke dalam indera pencecapku membuatku terbangun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rasa kopi pahit yang kini masuk ke dalam indera pencecapku membuatku terbangun. Setidaknya di minggu pagi ini. Harusnya aku masih meringkuk di atas kasur di dalam kamar. Tapi telepon dari mama yang mengatakan beliau akan ke sini satu minggu lagi, sukses membuat aku terjaga. 

Aku Cherry Anastasia. Wanita mandiri dengan karir yang lumayan sukses. Bekerja di penerbitan besar dan menjadi salah satu editor. Itu sudah menjadikanku seorang wanita berusia 25 tahun yang bisa membeli apapun yang aku inginkan. Dalam tanda kutip tidak lagi meminta orang tua.

Aku sendiri sudah berada di Jakarta 5 tahun, sejak aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku di sini, aku memang sudah mandiri. Meski mama dan papa selalu saja memantau putri tunggalnya ini.

Berdiri di selasar jendela kamarku, rumah yang aku beli 2 tahun ini tepat ada di depan sebuah rumah dengan warna pintu merah muda itu. Entah apa yang membuat konsep rumah itu seperti itu, tapi sejak pintu itu berubah warna aku jadi tertarik untuk mengetahui siapa penghuninya. Sejak 1 tahun yang lalu, rumah itu dibeli oleh seorang pria yang bernama Andromeda. Pria mapan dan berusia cukup dewasa, 33 tahun.

Awalnya aku hanya tahu pria itu pulang tengah malam dan berangkat sebelum pukul 7 pagi. Lalu setelahnya aku tahu kalau dia pria lajang yang bebas. Mempunyai tetangga depan rumah yang seksi di mata para wanita, tentu saja membuat aku makin berimajinasi. Andromeda termasuk pria yang tinggi dan tampan. Tapi pertimbangan tampan atau tidak itu relatif. Menurut selera masing-masing. 

Nyatanya, Lia, temanku di kantor saat melihat Andromeda untuk pertama kalinya sudah meneteskan air liur dan siap untuk menjilatinya. Itu sungguh sangat menyesatkan. Bagiku Andromeda itu memang tampan dan menawan. Hanya saja aku bisa melihat ada sesuatu yang disimpannya. Jauh di sana. Dia baik kepada semua orang, ramah juga terhadap tetangga dan lingkungan di sini. Termasuk sangat baik denganku. 

Itupun yang membuat aku akhirnya jatuh kepada pesonanya. Meski harus menunggu sampai 1 tahun. Tepatnya aku baru saja menjadi pacarnya. Aku benar-benar jatuh hati saat melihatnya begitu sayang dengan anak kecil. Hati dan otakku yang tidak sinkron.

Suara dering ponsel mengangetkanku. AKu segera meletakkan cangkir kopi di  atas nakas dan mengambil ponsel yang aku letakkan di atas bantal. Nama penelepon sudah membuat aku tersenyum,

"Halo."

"Morning beb. Kamu mau tetap berdiri di jendela kamarmu seperti itu? Kenapa tidak ikut bergabung ke rumahku saja?"
 Tentu saja aku terkejut mendengar suaranya yang serak dan khas bangun tidur. Dia sudah pulang?

"Kamu ada di dalam rumah?"

Andromeda terkekeh di ujung sana, lalu menguap.

"Aku terlalu malas untuk bangun. Semalam baru pulang dari bachelor party jam 4 pagi."
Dia dan kegemarannya. Aku memang tidak pernah mau jika diajak untuk bertemu dengan teman-temannya. Bagiku dunia kami berbeda. Dia dengan gegap gempita dunia malam, sedangkan aku hanya wanita yang ada di balik layar laptop. Terlalu monoton. Wanita yang penuh dengan dongeng-dongeng roman picisan dan ingin akhir bahagia. Kalau Andromeda adalah sosok pria metropolis yang komplit dengan dunia malamnya. Intinya aku serius dia tidak. Terlalu santai.

Jadi buat apa aku memikirkannya? Toh ini hanya hubungan sesaat, aku tidak mungkin membawanya maju terus ke duniaku. Dunia yang penuh masa depan. Menikah, punya anak dan hidup bahagia.

"Ya sudah kamu tidur saja. AKu masih harus menyelesaikan deadline naskah. Nanti mas Wikan marah-marah kalau jadwal setor naskah dari penulis belum aku selesaikan."

Andromeda terdengar berdecak di ujung sana.

"Hemm tidak adakah waktu untuk weekend? Sabtu kemarin kamu udah lembur beb. Sekarang aku hanya ingin seharian sama kamu."

Rajukan. Itu yang selalu diucapkannya. Hidupnya memang hanya diisi dengan bersenang-senang saja. Padahal dia seorang pengacara. Hanya saja dia memang tidak pernah serius, kecuali dia sedang bekerja. Membela para kliennya.

"Sorry. Kalau mau kamu bisa ke sini dan aku hanya memberimu kopi pahit."

**** 

Dia akhirnya datang saat aku selesai mandi. Andromeda tampak santai dengan kaos polo warna hitam dan celana jins selutut. Rambutnya basah, dan terlihat segar. Dia pasti habis mandi juga sepertiku. Aroma after shave menguar dari tubuhnya saat dia merengkuh aku masuk ke dalam dekapannya dan dia mengecup bibirku dengan lembut.

'"Aku tak perlu kopi, bibirmu yang semanis cerry ini sudah membuat aku puas."

Aku tersenyum dan melepaskan diri dari dekapannya. Lalu melangkah ke arah pantry.

"Sayangnya aku sudah menggunakan jatah kopiku yang tinggal 1 cangkir untuk kamu."

Aku membawa secangkir kopi yang baru saja kubuat kepada Andromeda. Dia tersenyum memamerkan gigi putihnya yang rapi.

"Kamu memang selalu siap sedia."
Dia mencolek hidungku dan menyesap kopi yang kuberikan. Aku melangkah ke arah meja kerjaku yang ada di ruangan tengah ini. Rumahku memang minimalis. Hanya ada ruang tamu yang cukup dengan 4 kursi, lalu ruang tengah yang aku sekat. Pantry dan ruang kerjaku. 

Aku duduk di balik meja dan mulai menyalakan laptop. Sedangkan Andromeda duduk di sofa merah yang tak jauh dari meja kerjaku.

"Kamu beneran gak ada waktu hari ini?"
Aku menganggukkan kepala dan mulai membuka file naskah yang masih separo aku kerjakan.

"Yah padahal aku menolak semua ajakan teman-teman untuk pergi ke Anyer hari ini. Aku ingin berdua sama kamu beb."

Aku menatap Andro yang kini tampak merajuk. Dia menatapku dengan mata puppy eyes-nya itu.

"Gak usah sok sedih gitu. Katanya kamu mau ketemu klien kamu. Kasusnya kali ini gede?"

Andro malah berdecak dan menyugar rambutnya.

"Ck... lagi gak pingin bahas kerjaan. Pinginnya lagi sama kamu. Ke sini beb, aku pingin meluk kamu."

Aku hanya terkekeh mendengar ucapannya. Kugelengkan kepala dan kukibaskan tanganku. Dia tampak kecewa. Tapi kemudian suara dering ponselnya terdengar. Dia meletakkan cangkir kopi ke atas meja lalu merogoh saku celananya. Aku hanya meliriknya sebentar, pura-pura tidak tertarik. Padahal aku memang sangat ingin tahu. 

"Owh halo.. Kay. Yoa... kangen? Waa.. ckckckc lagi di Jakarta?"
 Suara Andromeda terdengar begitu riang saat menerima telepon itu. Selama satu bulan dekat, aku sering mendengar dia menerima telepon dari seseorang yang dipanggilnya dengan Kay itu. Aku penasaran. 

"Ok. Kita ketemu. See ya."

Aku berpura-pura fokus dengan pekerjaanku lagi. Andromeda sudah mengakhiri teleponnya. Lalu aku tahu dia melangkah ke arahku.

"Beb, beneran gak mau ikut aku?"
 Aku langsung menoleh dan mendongak. Kini menatapnya yang sudah berdiri menjulang tinggi di sampingku.

"Maaf. Ini harus selesai siang ini."

Andro tampak kecewa, tapi kemudian dia tersenyum. Mengulurkan tangannya dan mengacak-acak rambutku. Lalu dia membungkuk dan mengecup pucuk kepalaku.

"Ya udah deh. Aku pamit pergi ya? mau ketemu temen. Paling malam baru pulang. Gak usah nungguin aku. Ehmm tapi mau dibeliin Donat gak? Aku mau lewat kedai donat kesukaan kamu."

Dia menawariku, tapi aku menggelengkan kepala.

"Enggak deh. Have fun ya."

Andromeda mengulas senyumnya, sekali lagi dia mengacak rambutku dan mulai melangkah menjauh. Sampai di depan tirai yang membatasi ruang tamu dan ruangan ini dia masih menoleh kepadaku.

"Jangan lupa makan beb, gak boleh telat. Pintu dikunci nanti jam 9 malam. Ok. Jaga diri ya. 2 hari besok aku pergi ke Bandung, ngurusin klien. Baik-baik ya."

Aku hanya mengacungkan jempol kepadanya, lalu dia benar-benar keluar dari rumahku. Hatiku merepih. Dia memang tampak sangat menyayangiku, tapi aku masih ragu dengannya. Semuanya. Dia tampak misterius.

BERSAMBUNG

 Repost ya ini cerita.


RED CHERRYWhere stories live. Discover now