l i m a

699 79 86
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Ghendis mengigit bibir bawahnya. Tak jarang ia menengok ke arah samping hanya untuk melihat Haikal yang disiram cahaya senja di sore hari. Kalau saja bukan perwujudan setengah iblis, mungkin Ghendis mudah saja menaruh hati karena terpesona. Tapi, otaknya masih waras, jadi tak mungkin rasanya Ghendis menganggap Haikal manusia seutuhnya.

Mereka berjalan bersisian di sebuah taman. Tak jauh dari keramaian kota Surabaya yang padat di sore hari. Lautan kendaraan memenuhi jalanan, sangat kecil celah untuk menyalip. Maka dari itu, Haikal putuskan untuk membawa Ghendis menepi sejenak agar mobilnya tak tergores karena kesalahan pengemudi lain yang tak hati-hati.

Selepas menunaikan salat di masjid kampua tadi, mereka berdua bertahan dalam kebisuan panjang. Ghendis hanya membuntuti Haikal ke mana kaki pemuda itu melangkah. Sementara Haikal, hanya sesekali melirik ke arah samping untuk memastikan jika Ghendis masih mengikutinya.

Keheningan di antara mereka akhirnya dipecahkan oleh Ghendis yang berdeham lebih dulu, setelah sampai di sebuah bangku di tepian danau buatan yang tak terlalu luas.

"Saya minta tolong lupakan kejadian seminggu lalu," ucapnya begitu saja. Meski suaranya dibuat seserius mungkin, tapi gestur Ghendis tidak cukup meyakinkan jika gadis itu dalam kondisi serupa. "Saya berterima kasih Bapak mau menolong saya waktu itu. Saya tahu Bapak cukup terbebani karena kejadian minggu kemarin. Jadi, saya tegaskan kali ini, terima kasih dan Bapak nggak perlu lagi memikirkan hal kemarin."

Ghendis bukan nggak tahu alasan Haikal terus menerornya sejak pertama menginjakkan kaki memasuki kelas. Ini bukan lagi permasalahan mengenai hukuman karena tugas kampus. Tapi lebih dari itu, sorot teduh yang tak biasanya Haikal perlihatkan pada siapa pun, tertangkap lensanya saat mereka menetap di mobil cukup lama, terjebak kemacetan panjang kota metropolitan kedua setelah Jakarta.

Haikal mengembuskan napas lelah. Ia duduk, sedangkan Ghendis masih berdiri di samping bangku. "Saya belum bertanya apa pun, Argani."

"Duh," Ghendis menepuk dahinya gemas. "Kalau saya nggak angkat suara, Bapak pasti diem bae sampai azan isya berkumandang."

Tangannya dilipat, ia kemudian menghempaskan tubuh di ujung bangku yang lain. "Saya punya kesibukan lain, Pak. Bapak ingatkan tugas yang Bapak kasih tadi siang? Saya belum mengerjakannya."

"Biasanya juga kesibukan kamu cuma rebahan aja," sindir Haikal yang langsung mendapat pelototan dari Ghendis yang tak suka dituduh sembarangan.

"Bapak sampai tahu kebiasaan saya. Bapak stalker?" sindirnya balik. Walaupun Ghendis tahu menantang Haikal berisiko sangat tinggi pada kelulusannya, tapi itu jauh kebih baik daripada Haikal terus-menerus ikut campur dalam urusan pribadinya. Dosennya itu akan banyak menerima masalah, sama seperti yang Keyna dan Gilang dulu hadapi, dan sungguh, Ghendis tak ingin lagi merasa bersalah atau memiliki hutang budi pada orang lain.

IM GRADUATED! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang