d e l a p a n

604 74 70
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Assalamu'alaikum," salamnya begitu membuka pintu rumah yang dibalas oleh suara wanita di ruang keluarga.

Keadaan di sekeliling Ghendis gulita. Kakinya melangkah hati-hati menuju cahaya oranye yang bersinar samar-samar dari lilin yang mulai pendek sumbunya. Lantunan ayat suci dari adiknya menyambut ketika ia telah sampai di ruang keluarga. Sejuk dan teduh. Meski sedikit rasa sedih meliputi, kala lensanya menangkap pemandangan ibu dan Reka duduk bersila, saling berhadapan dengan balutan mukenah yang masih terpakai rapi.

"Sudah salat, Nak?"

Ghendis menggeleng, lantas menyalami tangan ibunya yang mulai mengeriput dimakan usia. "Tadi banyak pelanggan, Bu. Nggak sempat nyari waktu."

"Sempat itu bukan dicari, Nak." Ibu memberikan mukenah putih milik Ghendis. Dengan penerangan temaram, gadis itu masih bisa melihat senyum kesabaran yang terpahat di bibir ibunya. "Sempat itu dibuat. Jangan pernah menunda salat karena dunia. Karena kematian juga nggak akan nunda datangnya dengan alasan dunia."

Ah, nasihat kecil yang pernah dilontarkan oleh ayahnya dulu. Semasa hidup, ayah Ghendis adalah orang yang paling rajin mengingatkan Ghendis juga Reka tentang keutamaan salat berjamaah, menyegerakan waktu salat, membagi rezeki pada yang membutuhkan, dan lain-lain.

Pria itu seolah menjadi alarm baginya dan Reka ketika muncul rasa malas pada diri mereka. Hingga saat ia berpulang pun, nasihat-nasihatnya pun tak lekang di ingatan. Kini, ibunyalah yang membawa amanah terbesar. Menyandang dua tugas, sebagai seorang ayah pun menjadi seorang ibu.

Bibir Ghendis tersenyum tipis, napasnya berembus halus. Mengingat nasihat ayah membuatnya bernostalgia sebentar dengan masa lalu. Tubuh yang lelah memeluk ibunya yang masih berdiri di hadapan. Hanya dengan ini Ghendis dapat menghilangkan segala beban di pundak, yang makin lama membuat mati syaraf-syaraf untuk mengutamakan tugas dari Tuhan.

Ibu memang mengambil alih tugas ayah sebagai kepala rumah tangga. Melindungi Ghendis dan Reka dari orang-orang jahat yang coba menyakiti mereka, memberikan nasihat, motivasi, dan hal-hal lain yang menjadi kewajiban seorang ayah.

Namun, sebagian tugas lain menjadi tanggung jawab Ghendis. Mencari pekerjaan misalnya. Pendidikan Reka masih panjang, dan cita-cita Ghendis terlalu besar. Uang tabungan ayah dan tunjangan-tunjangan lain mungkin bernilai besar saat ini di mata orang luar. Mereka mengatakan cukup, malah terlampau lebih karena jumlah yang hampir mencapai angka 20 juta. Ditambah mobil tua ayah senilai 20 jutaan yang harus Ghendis relakan dijual karena tak ada lagi yang bisa merawatnya. Perempuan-perempuan di rumah itu sama sekali nggak mengerti tentang mesin.

Namun menurut Ghendis itu tidaklah cukup. Jika hanya difokuskan pada pendidikan Reka dan dirinya, mungkin akan menyisakan beberapa ratus rupiah saja. Kebutuhan hidup seperti air, listrik, pajak, makan sehari-hari dan obat Ghendis yang kadang bisa menyentuh angka ratusan ribu sekali tebus, membuatnya yang masih berstatus mahasiswa semester empat mencari pekerjaan.

IM GRADUATED! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang