19. Kebetulan atau Takdir?

31 7 18
                                    

Part 19

Doni menyambangi warnet tempat Krisna kerja di malam yang sama. "Hei, mas operator, ada kompi yang kosong gak?" tegurnya yang melihat temannya termenung.

Krisna melengos saat melihat customer yang datang ternyata si Doni. "Eh, elo, Don. Kompi penuh." Tanpa dipersilakan Doni duduk di sebelahnya.

"Bengong aja. Mikirin Hana?" Krisna tampak sensi dan enggan menjawab. "Masih gak ada balasan dari doi?"

"Keliatannya?"

"Keliatannyaaaa, lo kalah cepet sama Evan. Dia udah nembak Hana." Krisna tampak terkejut. "Yaaaa, walaupun cara lo lebih spektakuler, tapi lo belum ngungkapin isi hati lo ke Hana, kan?"

Krisna menghela napas panjang. "Rasanya gue kayak nikung, sob."

"Loh, kok, lo mikirnya gitu. Hana kan masih free, available. Toh, lagian lo sama Evan juga gak deket. Cuma temen sekelas yang say hai doang kalo ketemu."

"Gitu, ya, menurut lo," desahnya pendek.

"Dari pada lo nyesel keduluan, trus idup lo digentayangin si Karen mulu, mending lo samperin Hana ke kelasnya. Nih! Jadwal kelas dia! Udah gue catetin buat lo!" tandas Doni sambil meletakkan secarik kertas di meja operator. "Banyak yang bentrok, sih, sama jadwal kuliah kita. Tapi ini aja. Kamis! Jadwal dia sedikit, jam sebelas udah kelar. Lo skip kelas aja, ntar gue absenin."

Krisna mengambil kertas itu dan mengamati isinya. "Dapat dari mana?"

"Ya, dari mading lah! Tapi gue nanya dulu, sih, sama temennya, Hana di kelas apaan. Tapi, sumpah! Temennya si Tika itu pelit banget ngasih info!" rutuknya kesal. Doni melihat Krisna yang masih ragu. "Kalo lo emang serius, jangan mundur. Udah kepalang tanggung. Apa lo cuma mo main-main aja sama Hana? Kalo bener, lo gak kasian apa? Dia udah abis-abisan di bully fans fanatik lo. Kalo tau gitu biar lo kasih kesempatan aja ke Evan."

"Gue serius, Don. Itu dia yang gue pikirin. Gue tau dia ngindarin gue karna apa."

"Kalo lo beneran lakik, ya itu tugas lo buat ngelindungin dia. Buat apa kita dikasih bahu lebih lebar dari perempuan dan otot lebih tebal dari mereka?"

Sebelum Krisna menjawab seorang remaja tanggung menghampiri. "Udahan bang, jadi berapa?"

"Dua jam setengah, sepuluh ribu," jawabnya datar lalu menoleh ke Doni. "Gue coba, semoga dia gak kabur lagi."

"Nah, gitu dong!"

~*~*~

Sebelum dosen datang di mata kuliah terakhir, Dian yang duduk di sebelah kiriku bertanya, "Jadikan kita main ke Kebun Raya Bogor?"

"Iya, jadi," jawabku yang sudah merencanakan ini dengan teman se-geng di kelas sejak kemarin. "Lo gak ikut, Tik?" tanyaku pada Tika yang duduk di bangku depan.

Gadis tomboy itu menoleh ke belakang. "Gue dah ada janji sama cowok gue, jadi kapan-kapan aja."

Sementara itu di kelas Krisna. "Jadi kan, Bro, hari ini?" tanya Doni memastikan.

Lagi-lagi sebelum menjawab ada anggota BEM yang masuk terburu-buru mumpung belum ada dosen. "Kris, bokapnya Cece meninggal. Ntar lo ikut, ya! Kita melayat ke rumahnya. Kumpul di Stasiun Pocin jam istirahat. Skip kelas aja! Kasian Cece." Setelah berkata seperti itu, cowok itu langsung keluar karena dosen sudah datang.

Doni tertawa miris. "Lo mang gak jodoh kali sama doi."

Krisna hanya terduduk lemas di kursi. Padahal dia sudah menyiapkan diri untuk bertemu denganku.

Siang itu cuaca di Depok cukup cerah walau terlihat awan mendung di kejauhan dari arah Bogor. Aku, Dian dan yang lainnya, total tujuh orang, naik comuterline dari Stasiun UI. Entah kenapa perasaanku agak tidak enak. Kereta pun datang, di dalam tak ada bangku kosong yang tersisa. Aku berdiri dekat pintu yang bukan di sisi peron, sementara teman-temanku bergerombol di depan kursi. Kereta melanjutkan perjalanan ke stasiun selanjutnya, Pondok Cina.

Di lain tempat para anggota BEM sudah berkumpul di Stasiun Pondok Cina. Karen tampak sumringah karena ada Krisna di sana. "Rumah Cece di mana, siiiih? Kenapa gak naik mobil aku aja?"

"Di Bogor, Ren. Lagian mobil lo mana muat nampung kita semua. Lama juga nyampenya kalau pakai mobil. Rumah Cece deket Stasiun Bogor, kok. Dah, jangan ribet, deeeh. Kita mo ngelayat, mo berkabung. Korban dikit, yaa."

"Ih, Erniii. Karen kan cuma mau bantuuuu."

"Eh, udah. Keretanya udah datang."

Ini mungkin memang sudah jadi suratan takdir. Dari sekian banyak gerbong kereta, kerumunan BEM masuk di gerbong yang sama denganku. Ketika Krisna masuk aku hanya bisa membalik badan pura-pura tidak melihatnya. Tapi apa mau dikata, temannya yang lain menyadari keberadaanku, terutama Karen. Suara bisik-bisik mereka terdengar jelas, saat itu Krisna hendak mendekatiku, tetapi tangan Karen lebih dulu mencegahnya, menyeretnya ke arah berseberangan dengan kami. "Mau ngapain, siih?" tanya Karen bete.

"Iya, nih, Krisna. Masih sempet-sempetnya, yaa," timpal Erni.

"Biarin aja kenapa? Kalian ini ikut campur aja urusan orang," tegur Ketua BEM.

"Tapi, Kak Tomiii."

"Sssts!" Mereka pun jadi ribut.

"Udah, Tom. Gapapa. Gue di sini aja," lerai Krisna yang sebenarnya ingin bicara denganku.

Sial. Hanya itu yang aku pikirkan. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Untungnya teman-temanku tidak menyadari keberadaan mereka karena berdiri membelakangi gerombolan itu. Mereka sibuk bergosip yang tidak jelas.

Sebenarnya mau kemana mereka? Semoga saja mereka turun lebih dulu, berhubung aku turun di stasiun terakhir. Lihat nih, bulu kudukku berdiri, rasanya semua mata tertuju padaku. Benar-benar tidak nyaman dan ini harus kurasakan hingga beberapa stasiun terlewat. Hingga di Stasiun Citayam, mendadak penumpang yang naik memenuhi gerbong. Aku terdorong ke pintu oleh para grup laki-laki. Meski agak terjepit dan tak nyaman, setidaknya tubuh orang-orang ini menghalangi pandangan sinis mereka.

Krisna yang sejak tadi mengawasiku berbisik pada Tomi. "Bentar ya, Bro," izinnya yang ditanggapi anggukkan mengerti. Dia bergerak ke arahku diikuti panggilan Karen yang ingin menyusul namun dicegah Tomi lebih dulu.

"Mau kemana? Di sini aja."

"Tapi, Kak!"

"Nanti kenapa-napaaa," sergah Tomi yang membuat Karen mati kutu.

Ternyata Krisna datang untuk memasang badan, menyelip di antara tubuh yang menjepitku lalu dia menyanggah lengannya ke pintu menahan tubuh orang lain dengan punggungnya. "Kamu gak papa?" tanyanya khawatir.

Aku terengah bingung, dadaku berdebar luar biasa karena tindakan heroiknya ini. Kalau begini caranya bagaimana bisa aku ngelupain Krisna? Yaaa, Tuhaaaan, jarak kami hanya sejengkal tapi dia berusaha untuk tidak menjepitku. Pasti berat menahan tubuh di belakangnya. Dan kalau aku menengadah, wajahnya jadi terlalu dekat, karena itu aku hanya bisa tertunduk malu sambil memeluk erat tasku yang sejak awal gak sempat berbalik menghadap pintu karena terdorong. "Iya, gak papa. Makasih."

"Kamu mau kemana?"

"Ke Kebun Raya Bogor sama temen." Hening sesaat di antara kami, hanya terdengar suara riuh obrolan orang lain. Aku saja sampai tidak berani melirik ke arah teman-temanku yang tergusur jauh ke kanan.

"Aku boleh gabung?"

Eh? Kenapa tiba-tiba dia bertanya begitu? Maksudnya, gabung gimana?

Lollipopحيث تعيش القصص. اكتشف الآن