A

13 2 0
                                    


Claretta Rhea Maheswari namanya. Gadis dengan rambut panjang yang diikat sebagian itu memasuki kamarnya yang didominasi warna putih. Tak terlalu lebar. Hanya cukup untuk ditempati satu orang saja. Ia kini duduk di pinggir kasur yang berwarna senada dengan dindingnya.

Ia menaruh kedua tangan di sisi tubuhnya kemudian menghela nafas. Hari ini sepertinya hari yang cukup melelahkan untuk gadis itu. Terdapat gurat kelelahan di wajahnya yang manis. Ia serta merta melepas kacamata yang sejak tadi terpasang apik di hidungnya.

Kepalanya menoleh pada sisi atas ranjang. Di dekat tumpukan bantal dan boneka kesayangannya, ada sebuah kotak besar yang terbungkus kertas kado. Berwarna pink pastel. Pemberian sahabatnya sebagai kenang-kenangan. Gadis itu tersenyum sesaat sebelum ia meraih kotak itu dan menaruhnya di pangkuan.

Dibukanya tutup kotak itu dan terpampanglah isinya. Ah, barang-barang di dalamnya adalah 'peninggalannya' sejak kelas dua. Kebiasaannya menulis pada kertas lembar kosong membuatnya harus mengumpulkan semua karya itu dalam satu tempat. Selain itu ada beberapa surat yang tidak pernah terkirim pada penerimanya. Kemudian beberapa pernak-pernik dan gantungan kunci serta barang-barang lainnya. Ia mengingat semuanya. Bagaimana ia mendapatkan barang itu atau siapa yang memberikannya. Masih jelas di ingatannya yang suka melupa. Seketika sekelebat bayang-bayang ingatan itu membuatnya tersenyum. Bahagia rasanya mengenang masa lalu indah bersama orang-orang yang disayangi.

Perlahan-lahan ia mengeluarkan semua benda tersebut hingga sebuah surat yang berada di ujung paling dalam kotak menarik atensinya. Ia tak ingat surat apa itu. Diambilnya surat dengan amplop berwarna kuning cerah, warna yang tak pernah dipakainya untuk menulis surat. Kemudian ia usap sejenak. Di ujung bawah bagian kanan terdapat nama penerima dari surat itu.

Untuk Claretta Rhea Maheswari

Tulisan cantik itu terbaca jelas sebagai namanya. Tak ada nama pengirimnya. Amplop kuning cerah itu bersih. Seperti tak ada yang pernah menyentuhnya kecuali sang pengirim yang entah siapa. Penasaran, dibukalah amplop tersebut dari belakang. Sebuah surat yang ternyata ada beberapa lembar. Ia pun menariknya dan mencoba membaca isinya.

Dear Claretta, atau yang selalu kupanggil Etta, sahabat kecilku yang berharga.

Claretta melepas pandangannya dari surat itu. Ia mulai menyingkirkan seluruh barang dalam kotak dari kasurnya dan duduk di tengah. Mencoba mencari posisi paling nyaman. Mulailah ia melanjutkan membaca surat itu.

Duduklah dengan nyaman. Cari posisi paling pas saat kamu membaca surat ini karena sepertinya akan panjang. Aku ingin menceritakan segalanya padamu. Agar tak ada penyesalan saat aku sudah tidak lagi berada di sisimu. Agar semua yang ingin kukatakan tersampaikan padamu tanpa kau perlu mendengarnya dari orang lain. Etta, dalam surat ini akan kujelaskan tentangku, tentang semua yang terjadi, dan tentang kita. Tentunya dari sudut pandangku. Supaya kamu mengerti dan tidak lagi tersesat dalam ketidaktahuan yang membelenggu. Mungkin akan menyayat hatimu atau malah memberi kehangatan dalam jantungmu. Namun harapku, semoga semua kebenaran dalam surat ini akan melegakan dirimu.

Claretta berhenti sesaat. Sibuk menenangkan dirinya yang tiba-tiba menjadi emosional. Bahkan baru paragraf pertama tapi hatinya langsung kalut. Seketika sekelebat bayangan lainnya terlintas. Saat ia harus melepas seseorang. Saat ia harus mengantarkan kepergian seseorang itu sebelum seluruh keinginan mereka tercapai sepenuhnya. Rasa sakit itu masih ada. Karena merelakan seseorang pergi walaupun masih ada kesempatan bertemu lagi tetaplah menjadi goresan dalam hati yang tak terobati.

30 Days To GoWhere stories live. Discover now